Liputan6.com, Jakarta: Kemuraman masih terus saja menyelubungi wajah eks penduduk Timor Timur yang sudah setahun ini mendiami perkampungan pengungsi di Atambua. Ketidakpastian demi ketidakpastian mereka hadapi kendati masalah mereka masih terus dibahas oleh masyarakat internasional. Penderitaan yang mendera pun seakan kian tak tertahankan selama berada di tempat penampungan sementara itu.
Di antara para pengungsi, tampak pula anak-anak yang terpaksa mengikuti jejak para orangtua mereka meninggalkan kampung halaman, tanpa mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya satu yang mereka tahu: kini tinggal di lokasi yang jauh berbeda dibanding rumah sendiri di Timor Timur.
Dalam suasana yang berbeda itu, dunia bermain tetap merupakan surga bagi anak-anak pengungsi itu. Penuh canda dan kegembiraan bermain walau sesungguhnya kabut penderitaan tetap menyertai mereka. Di tanah yang gersang itu, wajah-wajah polos mereka masih membersitkan tawa riang, lepas, mengiringi kesibukan para orangtua yang tengah bergulat agar dapat menyambung hidup.
Beragam permainan yang banyak dikenal anak-anak dari daerah lain pun mereka mainkan. Yang perempuan sebagian tampak bermain bekel. Sebagian lagi berkejar-kejaran dalam permainan petak lari. Ada juga permainan yang boleh dibilang mencerminkan apa yang mereka lihat dan alami saat pertikaian pascajajak pendapat melanda kampung halaman mereka di Timor Timur. Sebagian anak lainnya lebih suka bermain perang-perangan, dengan alat seadanya. Tak ada mainan senapan atau pistol dengan baterai. Sebilah bambu atau papan pun cukup untuk mengekspresikan alat bermain mereka.
Bagi sebagian lainnya, kegembiraan justru mereka temukan dalam kegiatan membantu orangtua. Tiada pilihan lain karena suratan nasib memaksa mereka ikut meringankan beban keluarga sekadarnya, seperti dialami seorang bocah bernama Miguel. Ia sehari-hari berjalan mengelilingi perkampungan pengungsi menjajakan barang dagangan seadanya. Ada kalanya dagangan itu habis, tak jarang pula tiada pembeli yang melirik bawaannya.
Beberapa anak lain yang senasib dengan Miguel membantu orangtuanya mengumpulkan ranting dan dahan kering dari hutan di dekat kamp pengungsi. Kalau sedang mujur, ada saja warga kamp yang membeli hasil jerih payah mereka. Tapi, dahan dan ranting kering itu umumnya dipakai sendiri oleh orangtua mereka untuk memasak apa saja sekadar pengganjal perut.
Bagi para pengungsi, tak terkecuali bagi anak-anak ini, saat yang paling menyenangkan adalah ketika datang bantuan makanan. Permainan mereka tinggalkan. Serempak mereka berlarian ke lokasi pembagian jatah makanan. Mereka berebut mengumpulkan bulir-bulir beras yang tumpah ditingkahi canda antarmereka. Sejumput kegembiraan pun tampak di tengah perebutan untuk segenggam beras yang sudah berbaur dengan pasir dan kerikil itu.
Kondisi ini sungguh memilukan. Bantuan makanan bagi mereka sungguh tak memadai. Alih-alih cukup gizi, kebutuhan makan mereka setiap hari pun tidak terpenuhi. Yang diperoleh anak-anak ini hanyalah makanan sekadar menjaga agar perut tidak kosong saja.
Semua tahu, anak-anak itu adalah bagian dari masa depan bangsa ini. Tapi, tak seorang pun dapat mengira-ngira, akan jadi apa mereka kelak. Yang jelas, sampai saat ini, kebengisan dan kekerasan di masa lalu masih membayang di pelupuk mata bocah-bocah tak berdosa itu. Boleh jadi, masa-masa kelam di Timor Timur dan di pengungsian itu menjadi acuan mereka dalam meniti masa depan. Mungkin juga tidak. Untuk mereka hanya ada satu kepastian: derita itu belum akan berlalu dalam waktu dekat.(EYS/Tjandra, Dodit T.S., Yahdi Jamhur, dan Ferry Kaendo)
Di antara para pengungsi, tampak pula anak-anak yang terpaksa mengikuti jejak para orangtua mereka meninggalkan kampung halaman, tanpa mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya satu yang mereka tahu: kini tinggal di lokasi yang jauh berbeda dibanding rumah sendiri di Timor Timur.
Dalam suasana yang berbeda itu, dunia bermain tetap merupakan surga bagi anak-anak pengungsi itu. Penuh canda dan kegembiraan bermain walau sesungguhnya kabut penderitaan tetap menyertai mereka. Di tanah yang gersang itu, wajah-wajah polos mereka masih membersitkan tawa riang, lepas, mengiringi kesibukan para orangtua yang tengah bergulat agar dapat menyambung hidup.
Beragam permainan yang banyak dikenal anak-anak dari daerah lain pun mereka mainkan. Yang perempuan sebagian tampak bermain bekel. Sebagian lagi berkejar-kejaran dalam permainan petak lari. Ada juga permainan yang boleh dibilang mencerminkan apa yang mereka lihat dan alami saat pertikaian pascajajak pendapat melanda kampung halaman mereka di Timor Timur. Sebagian anak lainnya lebih suka bermain perang-perangan, dengan alat seadanya. Tak ada mainan senapan atau pistol dengan baterai. Sebilah bambu atau papan pun cukup untuk mengekspresikan alat bermain mereka.
Bagi sebagian lainnya, kegembiraan justru mereka temukan dalam kegiatan membantu orangtua. Tiada pilihan lain karena suratan nasib memaksa mereka ikut meringankan beban keluarga sekadarnya, seperti dialami seorang bocah bernama Miguel. Ia sehari-hari berjalan mengelilingi perkampungan pengungsi menjajakan barang dagangan seadanya. Ada kalanya dagangan itu habis, tak jarang pula tiada pembeli yang melirik bawaannya.
Beberapa anak lain yang senasib dengan Miguel membantu orangtuanya mengumpulkan ranting dan dahan kering dari hutan di dekat kamp pengungsi. Kalau sedang mujur, ada saja warga kamp yang membeli hasil jerih payah mereka. Tapi, dahan dan ranting kering itu umumnya dipakai sendiri oleh orangtua mereka untuk memasak apa saja sekadar pengganjal perut.
Bagi para pengungsi, tak terkecuali bagi anak-anak ini, saat yang paling menyenangkan adalah ketika datang bantuan makanan. Permainan mereka tinggalkan. Serempak mereka berlarian ke lokasi pembagian jatah makanan. Mereka berebut mengumpulkan bulir-bulir beras yang tumpah ditingkahi canda antarmereka. Sejumput kegembiraan pun tampak di tengah perebutan untuk segenggam beras yang sudah berbaur dengan pasir dan kerikil itu.
Kondisi ini sungguh memilukan. Bantuan makanan bagi mereka sungguh tak memadai. Alih-alih cukup gizi, kebutuhan makan mereka setiap hari pun tidak terpenuhi. Yang diperoleh anak-anak ini hanyalah makanan sekadar menjaga agar perut tidak kosong saja.
Semua tahu, anak-anak itu adalah bagian dari masa depan bangsa ini. Tapi, tak seorang pun dapat mengira-ngira, akan jadi apa mereka kelak. Yang jelas, sampai saat ini, kebengisan dan kekerasan di masa lalu masih membayang di pelupuk mata bocah-bocah tak berdosa itu. Boleh jadi, masa-masa kelam di Timor Timur dan di pengungsian itu menjadi acuan mereka dalam meniti masa depan. Mungkin juga tidak. Untuk mereka hanya ada satu kepastian: derita itu belum akan berlalu dalam waktu dekat.(EYS/Tjandra, Dodit T.S., Yahdi Jamhur, dan Ferry Kaendo)