Liputan6.com, Jakarta - Terik matahari terasa menyengat, saat Rahmat pulang dari sebuah sekolah dasar di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Siang itu, Rahmat membawa hasil jualan untuk dibelanjakan kembali keesokan harinya. Rasa lelah menjalar di sekujur badan pria yang mulai renta itu. Dengan langkah gontai Rahmat masuk ke halaman rumah bercat merah.
Rasa penat seketika hilang ketika Rahmat melihat cucunya, Farhan, tengah asyik bermain di teras rumah. Bola plastik yang dimainkan Farhan menggelinding ke kaki Rahmat. Kakek berusia 60 tahun itu kemudian melemparkan kembali bola itu kepada Farhan. Anak berusia lima tahun itu kemudian berdiri dan berlari mengejar bola. “Masya Allah. Akhirnya, dia bisa jalan,” ucap Rahmat, mengungkapkan rasa bangganya saat menceritakan peristiwa Farhan bisa berjalan kepada Liputan6.com, Selasa, 21 Juni 2016.
Advertisement
Mukjizat itu terjadi lima bulan lalu. Farhan yang selama 4,5 tahun sejak dilahirkan selalu menggantungkan mobilitas pada orang lain mendadak bisa berjalan sendiri. Warga Desa Cinangka pun gempar.
Farhan adalah cucu kesayangan Rahmat. Meski bukan cucu pertama, Farhan dapat kasih sayang yang luar biasa dibandingkan cucu lainnya. Penyebabnya, Rahmat mengalami langsung berbagai kesulitan yang dihadapi Rahmat sejak lahir. “Ini mah napasnya enggak ada dua jam, pas lahir,” tutur Rahmat. Kejadian itu menjadi pertanda awal terhambatnya tumbuh-kembang Farhan.
Rahmat menduga, cucunya menjadi ‘tumbal’ dari industri peleburan aki bekas. Industri itu sempat menggeliat di Cinangka pada era 1970 hingga 2000. Bukan tanpa alasan, Rahmat punya sangkaan. Sebab, ada dua anak lain di dekat rumahnya yang juga mengalami gangguan tumbuh-kembang. “Banyak yang lahir seperti ini,” imbuh Rahmat.
Maesaroh, ibunda Farhan, membenarkan pernyataan Rahmat. Perempuan 31 tahun itu menuturkan, anaknya masih lebih beruntung dibanding dua anak lain. Sebab, Farhan kini hanya mengalami keterlambatan berbicara. Sementara, dua anak seumuran Farhan, kini masih terbujur dan harus dipangku orang tua. “Kalau yang di sana, lima tahun belum bisa apa-apa. Si Yanti, anak yang di sana, tidur doang,” ucap Maesaroh kepada Liputan6.com.
Dugaan Rahmat diperkuat penelitian yang dilakukan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB). Lembaga swadaya masyarakat ini mencatat, terdapat setidaknya 20 anak yang mengalami gangguan pertumbuhan di Desa Cinangka. Umumnya, anak-anak itu mengalami keterlambatan berbicara, keterlambatan berdiri, fisik yang lemah, bahkan mengidap down syndrome. Uji darah menunjukkan kandungan logam berat khususnya timbel tergolong tinggi di Desa Cinangka.
Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin mengatakan, pencemaran lingkungan di Desa Cinangka, dipicu peleburan aki bekas yang sudah berlangsung sejak akhir 1970-an. KPBB sudah meneliti fenomena Cinangka sejak 2001. Hasil penelitian KPBB menunjukkan, tingkat pencemaran di Cinangka sudah mengkhawatirkan.
Puput--demikian Ahmad Safrudin disapa--mengaku tak kaget dengan gangguan tumbuh kembang anak yang dialami Farhan. Menurut dia, gangguan tersebut terjadi lantaran daerah Cinangka sudah tercemar limbah timbel. Logam berat ini diketahui berisiko tinggi pada janin dan bayi. Orang dewasa juga termasuk yang rentan mengidap keracunan timbel. “Di setiap tempat peleburan aki, pasti ada masyarakat yang mengalami penyakit yang diindikasikan terpapar timbel,” kata Safrudin kepada Liputan6.com.
Menelusuri Peleburan Aki
Pencemaran lingkungan di Cinangka, diakui Rahmat, sudah terjadi sejak lama. Lelaki 60 tahun itu tak ingat betul, kapan bisnis peleburan aki tumbuh di kampungnya. Rahmat hanya ingat, banyak warga berdemonstrasi menuntut pemilik usaha peleburan aki bekas menutup usaha mereka pada akhir 1999. Tapi, unjuk rasa tak digubris pemilik pabrik.
Rahmat tak pernah membayangkan, aki bekas yang mengandung timbel, mercuri, arsenik, dan asam sulfat, membawa dampak buat keturunannya. Apalagi, bisnis peleburan itu kemudian tutup dilarang pemerintah. Tapi, zat-zat berbahaya yang terkandung dalam aki tak serta merta hilang setelah setelah pabrik diberangus. Zat-zat yang terkategori sebagai jenis barang berbahaya dan beracun (B3) itu rupanya mengendap dan menyisa dalam tanah, air, dan udara di Cinangka.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mencatat, konsentrasi timbel pada tanah di wilayah Jabodetabek sudah melampaui ambang batas yang diberlakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 400 parts per million (ppm). Sementara konsentrasi timbel di Jabodetabek mencapai hampir 300 ribu ppm. Sedangkan di Cinangka mencapai 270 ribu ppm. “Jadi, masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di sekitar smelter aki bekas, berisiko tinggi,” ucap Safrudin.
Tim Liputan6.com, mencoba menelusuri bekas-bekas tempat peleburan. Lokasi yang pertama tim datangi adalah bekas peleburan milik Suparjo. Sebelum diratakan dengan tanah pada 2011, pabrik peleburan kokoh di lahan seluas 700 meter per segi, berdiri persis di samping rumah Suparjo. Saat tim masuk ke halaman, bau menyengat seketika menusuk hidung. Bau terhidu meski tak ada aktivitas pembakaran aki bekas. Hanya lima langkah dari gerbang, warna tanah halaman rumah Suparjo seolah menceritakan apa yang pernah terjadi. Tanah hitam pekat bekas timbel peleburan aki.
Sisa-sisa pabrik peleburan masih kentara. Sekitar 100 meter dari gerbang, ada bongkahan bata berbentuk melingkar. Bongkahan tersebut merupakan sisa pondasi cerobong asap. Tinggi cerobong itu 15 meter. Sisa-sisa casing aki juga berserakan di pojok benteng halaman rumah. Menumpuk tak keruan dari berbagai label merk aki. Casing tanpa isi itu mempertegas, aki sudah lama dilebur.
Sekitar 75 meter dari bekas pondasi cerobong, ada kolam kecil berisi air, yang sekilas tampak seperti oli. Hitam, pekat, berbau menyengat. Tak jauh dari kolam itu, sumur yang semula jadi sumber air kebutuhan harian keluarga Suparjo, sudah bercampur dengan limbah peleburan aki. Sehingga sudah tak bisa digunakan. Sisa-sisa bangunan itu menunjukkan sisa kejayaan bisnis ilegal peleburan aki milik Suparjo.
Tak kuat berlama-lama menghirup bau menyengat, tim meninggalkan rumah Suparjo. Tim kemudian menuju tempat lain di Desa Cinangka, tujuannya meninjau pabrik peleburan yang masih aktif. Dengan mudah, tim menemukan tempat peleburan yang dicari. Pabrik ini milik Ujang Bonang. Proses peleburan aki di pabrik ini, lebih parah dari bekas pabrik milik Suparjo. Sebab, terdapat parit air dari tempat peleburan ke sungai. Parit itu menjadi sumber air pembilas, sekaligus pengantar timbel sisa pembilasan menuju sungai.
Bau menyengat terasa lebih kuat di hidung dan menyesakkan dada. Meski pabrik itu beroperasi, tim Liputan6.com tak menemukan seorang pekerja. Tak ada persediaan aki bekas sebagai bahan baku di tempat tersebut. Hanya gunungan yang menyerupai tanah gumpalan berwarna hitam. Ketika didekati, gunungan itu rupanya bukan tanah. Melainkan slack atau yang umum disebut warga setempat sebagai karaha. Karaha ini merupakan lempengan aki yang dibakar berulang kali, untuk mendapatkan timah logam. Timah logam ini akan digunakan sebagai bahan baku produksi aki baru.
“Karaha mah baunya enggak begitu menyengat, lebih bau aki pas pertama dibakar,” ucap Yus, warga setempat yang menemani tim mencari pabrik peleburan aki.
Advertisement
Bersihkan Cinangka dari Timbel
Upaya membersihkan timbel, tak bisa dengan mudah dilakukan. Timbel yang terserap ke dalam tanah sulit hilang dan menyebabkan tanah berwarna hitam. Begitu pun dengan asam sulfat yang terkandung dalam aki bekas. Akan dengan mudah meresap dan mencemari air yang biasa dikonsumsi warga. Yus, salah seorang warga Desa Cinangka, menceritakan, warga sudah tak pernah menggunakan air tanah dari sumur, untuk kebutuhan rumah tangga. Sebab, sumber air di daerah tersebut sudah tercemar. Warga pun kini menggunakan air dari Perusahaan Air Minum, untuk kebutuhan harian.
“Sekarang mah di Cinangka Tengah, semuanya sudah pakai air PAM. Air tanahnya sudah enggak bisa digunakan lagi. Sudah dilarang juga untuk dipakai. Air PAM dialirkan dari kantor kelurahan,” ungkap Yus.
Tak hanya tanah dan air, polusi udara dari pembakaran aki juga mengantarkan masyarakat menghirup timbel. Rahmat mengungkap kisah sebelum Farhan, cucunya yang mengalami gangguan tumbuh kembang, lahir. Menurut Rahmat, Maesaroh, yang tak lain anaknya, mengandung Farhan saat pembakaran aki masih banyak beroperasi. Jelaga hitam dari timbel kerap tampak siang hingga sore. Seingat Rahmat, ada dua pabrik yang terletak di dekat rumahnya. Itu belum termasuk pabrik-pabrik kecil yang juga beroperasi meleburkan aki. “Di satu desa ini, asapnya kena ke tiga desa,” ujar Rahmat.
Keterangan Rahmat sejalan dengan temuan KPBB. Menurut Ahmad Safrudin, hasil riset KPBB bersama Blacksmith Institute mengonfirmasi, pencemaran lingkungan dan munculnya gangguan tumbuh kembang anak di Desa Cinangka disebabkan industri peleburan aki. Lantaran, kandungan BLL atau kadar timbel dalam darah anak-anak Cinangka pada 2010 dan 2013, mencapai 60 microgram per desiliter (mcg/dL). Sedangkan ambang batas yang diterapkan WHO ialah 10 mcg/dL.
Pencemaran mengakibatkan warga Cinangka kesulitan mencari daerah yang bersih dan bebas ancaman timbel. Menurut Safrudin, upaya pembersihan Cinangka menjadi satu-satunya cara untuk membebaskan warga dari penyakit yang diakibatkan peleburan aki bekas. Pada 2013, KPBB bersama Blacksmith Institute pernah melakukan pembersihan. Namun, upaya itu baru bisa mengisolasi logam sekitar dua persen dari keseluruhan lahan tercemar di Cinangka.
Setahun setelah isolasi, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup kemudian melarang aktivitas peleburan aki bekas. Tapi, tak semua industri peleburan tutup. KPBB mencatat, masih ada empat industri peleburan ilegal yang masih beroperasi hingga kini. Satu di antaranya milik Ujang Bonang, yang ditemukan tim Liputan6.com.
Ini menjadi masalah. Sebab upaya isolasi lingkungan dari timbel tak menjadi kesadaran pelaku industri peleburan. Akibatnya, potensi pencemaran kembali muncul. Safrudin menyebut, pemerintah harus menghalangi exposure timbal kembali terjadi di Cinangka. Jika tetap terjadi, masyarakat di Cinangka harus diungsikan. Supaya, mereka bisa terbebas dari bahaya timbel yang mengancam kehidupan mereka.
“Kami juga sarankan Kementerian Kesehatan melakukan studi epidemologi, yang mengkaitkan dan mencari korelasi antara korban dan sumber pencemarnya. Dalam konteks ini adalah dampak dari peleburan timbel,” ucap Safrudin.