Sukses

Bamsoet DPR: Kasus Vaksin Palsu Skandal Medis Paling Mengerikan

Bambang mengatakan, jumlah tersangka vaksin palsu seharusnya terus bertambah karena pengusutan kasus ini belum tuntas.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengatakan, kasus pemberian vaksin palsu untuk bayi di bawah lima tahun (balita) harus dilihat sebagai skandal layanan medis paling mengerikan yang pernah terjadi di negara ini.

Menurut dia, Polri wajib menyelidiki skandal ini mulai dari awal karena kejahatan yang terkoordinasi ini sudah berlangsung sejak 2003.

"Ada sekumpulan predator balita di balik skandal layanan medis ini. Hingga akhir pekan lalu, Mabes Polri sudah menetapkan tiga dokter sebagai tersangka, dari total puluhan tersangka. Identitas 14 rumah sakit pengguna vaksin palsu dan delapan bidan pemberi vaksin palsu sudah diungkap," kata Bambang melalui pesan tertulisnya yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Selasa (19/7/2016).

Pria yang akrab disapa Bamsoet ini menambahkan, kasus vaksin palsu ini patut dikategorikan sebagai kejahatan yang sangat mengerikan, karena  sebagian besar tersangka pelaku justru memiliki keahlian di bidang pelayanan medis.

"Selama belasan tahun, para predator balita itu menyuntikkan vaksin palsu kepada ribuan balita," tambah dia.

Bamsoet menuturkan, jumlah tersangka seharusnya terus bertambah karena pengusutan kasus ini belum tuntas. Apalagi, produksi, distribusi, dan pemberian vaksin palsu kepada balita sudah berlangsung sejak 2003. Mengungkap peran dan keterlibatan para tersangka saja tidak cukup. Dalam penyidikan kasus ini, Polri harus komprehensif. 

"Maka, untuk untuk memberi gambaran kepada publik tentang dampak kejahatan ini, Bareskrim Polri layak untuk mengungkap jumlah korban selama ini, termasuk dampak lain bagi Balita yang menerima vaksin palsu. Wilayah peredarannya bisa saja mencapai lebih dari 17 provinsi," papar Bamsoet.

Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo sudah menggambarkan kasus ini sebagai kejahatan luar biasa. Maka, penanganan kasus ini tidak boleh setengah-setengah.

Selain itu, ia menyebutkan, kasus-kasus vaksin palsu terdahulu yang proses hukumnya tidak wajar harus dibuka kembali. Salah satunya, pada 2008, ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan vaksin Anti Tetanus Serum (ATS) palsu.

"Tahun 2013 terungkap lagi kasus vaksin palsu dengan dua tersangka, tetapi satu tersangka bisa melarikan diri. Pelaku yang tertangkap pun hanya dikenai hukuman denda Rp 1 juta. Para vaksinolog melihat ada kejanggalan pada proses hukum dua kasus vaksin palsu terdahulu itu," ucap politikus Golkar tersebut.