Liputan6.com, Jakarta - Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah lama berkecimpung dalam pemberantasan teroris. Tito punya pengalaman panjang dalam memburu penebar teror di Indonesia. Selama bertugas di Detasemen Khusus 88 Antiteror, mantan Kapolda Metro Jaya itu berulang kali terlibat dalam pengejaran tokoh gerakan ekstrem penebar teror.
Bahkan jauh-jauh hari sebelum nama Santoso tenar, Tito sudah pernah menangkap dan menginterogasi Santoso. Peristiwa itu terjadi pada 2005, ketika Santoso terlibat perampokan mobil boks. Dalam interogasi itu, Tito membaca sosok Santoso tak punya karakter ideolog dalam memimpin gerakan teror.
Richo Pramono dan Mochamad Khadafi dari Liputan6.com berkesempatan berbincang dengan Tito Karnavian pada April 2016 di lokasi Operasi Tinombala di Pengunungan Napu, Poso, Sulawesi Tengah. Ketika itu, Tito baru menjabat menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Berikut kutipan wawancara Tito Karnavian yang ketika diwawancara mengaku masih menyandang pangkat inspektur jenderal.
Advertisement
Bagaimana Anda mengenal Santoso?
Dari pemeriksaan kami pada 2005, saat dia ditangkap, dia sebetulnya bukan ideolog.
Seperti apa Santoso sebenarnya?
Santoso bukan ahli strategi yang baik. Tapi dia orang yang berpikiran pendek dan berani. Pemukul lah, kira-kira begitu.
Kenapa Santoso menjadi target utama?
Dalam konteks ini, kelompok Santoso melakukan kegiatan perlawanan. Dia menjadi simbol perlawanan jaringan kelompok radikal terhadap pemerintah. Dia tidak hanya dijadikan simbol di Sulawesi Tengah, tapi juga di luar Sulawesi Tengah. Sehingga penangkapan ini menjadi efektif, karena menjadi simbol negara melawan kelompok ini.
Bagaimana Poso menjadi lahan subur kelompok radikal?
Ada dua hal saya kira. Pertama karena konflik komunal (Poso dihantam gelombang konflik selang 1998-2000). Di situ ada pihak tertentu, terutama dari warga yang tidak puas dengan penyelesaian yang ada (Perjanjian Malino pada 2001). Mereka masih teringat konflik masa lalu. Mereka menuntut penyelesaian hukum khususnya.
Kelompok ini masih tak puas, dan kemudian mereka masuk ke kelompok radikal. Kelompok radikal ini memberikan pemahaman ideologi kepada mereka, memperbolehkan mereka untuk membunuh orang lain misalnya. Ini membuat warga ada simbiosis mutualisme antara oknum warga lokal yang merasa ingin terus balas dendam, dan diperbolehkan kelompok ideologi ini
Yang kedua, karena tempat ini ingin dijadikan Qaidah Aminah untuk cikal bakal negara versi mereka. Medannya memang ideal untuk gerilya. Semua dikelilingi gunung dan hutan. Ini membuat kelompok radikal dari luar Poso, datang ke sini. Poso menjadi tempat itu, dan kemudian kelompok Santoso ini menjadi simbol mereka.
Apa langkah strategis menanggulangi teror di Poso?
Ada hal yang secara simultan harus dikerjakan. Pertama, menetralisir idelogi radikal. Ini harus dilakukan langkah untuk meng-counter ideologi dengan ideologi yang lebih moderat. Kemudian kegiatan-kegiatan healing pascatrauma kepada masyarakat yang masih dendam, dan lain-lain ini. Di samping itu perlu ada kegiatan komprehensif pemerintah pusat dan daerah, untuk mendukung ekonomi masyarakat.