Liputan6.com, Jakarta - Kepala Bagian Sekretariat Komisi V, Prima Maria hadir menjadi saksi terdakwa Damayanti Wisnu Putranti dalam kasus dugaan suap proyek jalan di Maluku pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR). Dia mengakui, pimpinan Komisi V mengadakan pertemuan informal dengan Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR, Taufik Widjojono.
Pertemuan yang terjadi pada September 2015 itu dilakukan di Gedung Sekretariat Komisi V DPR. Pertemuan itu diduga juga dihadiri oleh Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Komisi V. Kapoksi adalah anggota komisi yang ditunjuk sebagai perwakilan fraksi.
‎"Iya Pak, benar ada pertemuan (informal)," kata Prima dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (20/7/2016).
Pertemuan informal itu diduga untuk membahas proyek pembangunan jalan di Maluku yang akan dianggarkan melalui dana APBN.
Pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan jaksa, berdasar pengakuan Prima, rapat informal dilakukan tak hanya sekali. Rapat yang dilakukan tertutup itu dilakukan dua kali antara pimpinan Komisi V dan semua Kapoksi serta dihadiri oleh Sekjen Kemen PUPR dan Kepala Biro Perencanaan Kementerian PUPR.
Namun, dia tidak ikut dalam rapat dua kali itu. Ini sesuai dengan yang tertulis dalam BAP. Dia hanya diminta untuk mengirim undangan rapat. Dia juga mengatakan tidak ada notulen ataupun rekaman karena rapat bersifat tidak resmi.
Sebelumnya, jaksa mendakwa anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti menerima suap Rp 8,1 miliar. Uang pelicin itu diterima Damayanti dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir.
Uang sebanyak itu diberikan kepada mantan politikus PDIP tersebut secara terpisah dengan rincian 328 ribu dolar Singapura, Rp 1 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat, dan 404 ribu dolar Singapura. Tujuan uang itu diberikan agar Damayanti mengusahakan proyek pembangunan jalan di Provinsi Maluku dan Maluku Utara masuk ke dalam program aspirasi Komisi V DPR yang dicairkan melalui Kementerian PUPR.
Atas perbuatannya, Damayanti didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.