Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Polda Riau menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) 15 perusahaan yang terlibat kasus pembakaran hutan dan lahan di Riau 2015, menuai kritik.
Advokat Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Irfan Fahmi, mengungkapkan keputusan Kapolda Riau Brigadir Jenderal Polisi Supriyanto adalah wujud ketidakprofesionalan polisi karena menjadikan status sengketa lahan sebagai alasan menghentikan kasus.
Diketahui, 15 perusahaan ini berebut lahan dengan masyarakat adat. Sementara para petani yang turut menjadi tersangka, mereka antar hingga pengadilan.
"Polda Riau menerbitkan SP3 dengan alasan locus peristiwa pembakaran hutan dalam kondisi sengketa, sehingga tidak jelas pihak yang bertanggung jawab. Padahal, di lokasi yang sama, Polda Riau menetapkan 25 orang tersangka," kata Irfan di Jakarta Selatan, Minggu (24/7/2016).
"Kasus-kasus yang terkait individu sebagian telah tuntas di pengadilan, sedangkan untuk kasus yang melibatkan koorporasi di-SP3," sambung Irfan.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2015, kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kerugian materiil negara sebesar Rp 20 triliun. Dan untuk menanggulangi bencana tersebut, pemerintah menggelontorkan dana Rp 500 miliar.
Dana pemerintah digunakan untuk penyewaan pesawat, helikopter, hujan buatan, pengerahan personel hingga pendirian posko pengungsi.
Sedangkan jumlah korban jiwa hingga Oktober 2015 mencapai 19 orang dan 529.527 orang terserang penyakit lSPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut).
Advertisement
"Kerugian lain yang tidak teriidentifikasi termasuk kerugian sosial dan immateriil. Dipastikan lebih luas dari yang sudah diperhitungkan," ujar Irfan.
Direktur Penelitian Setara Institute Ismali Hasani berujar polisi semestinya sudah memahami adanya konflik tanah antara masyarakat adat dengan perusahaan, karena sengketa semacam itu tak hanya terjadi di Riau. Alasan sengketa tanah yang menyebabkan keluarnya SP3, perlu dipertanyakan.
"Dalam kasus SP3 ini, konflik dijadikan alasan SP3. Ini kekeliruan nalar di kepolisian. Saya menduga polisi kurang profesional menangani penegakan hukum di level korporasi. Polisi mengatakan bukti hilang karena (status) lokusnya sengketa. Dalam pikiran polisi, yang bisa dikenakan pidana kalau dia membakar di lahan sendiri," tutur Ismail.
Ismail berharap, Jenderal Polisi Tito Karnavian yang baru menjabat sebagai Kapolri menaruh perhatian khusus pada terbitnya SP3 itu. Ia meminta Kapolri Tito mengevaluasi keputusan Kapolda Supriyanto yang menghentikan proses hukum 15 perusahaan terduga pembakar hutan dan lahan gambut.
"Kita minta kapolri yang baru Tito Karnavian periksa SP3-nya. Ada salah satu saksi ahli perhutanan yang jadi saksi di pengadilan merasa kecewa karena menurutnya 15 perusahaan sudah terbukti unsur pidananya," ungkap Ismail.
Polda Riau mengeluarkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan sejak Januari lalu. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau yang menangani kasus ini membantah menutupi soal SP3 dengan dalih tidak ada yang menanyakan perkembangan kasus tersebut selama ini.
"Tidak ada yang ditutupi karena sebelumnya tidak ditanyakan. Yang SP3 itu ada 15 perusahaan, bukan seperti yang disebutkan LSM yaitu 11 perusahaan. Kan terbuka kita," ujar Direktur Reskrimsus Polda Riau Kombes Rivai Sinambela, Rabu, 20 Juli 2016.
Berbagai alasan dikemukakan oleh mantan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau ini. Salah satunya konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan.