Liputan6.com, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) Maskyurrudi Hafidz menyatakan, upaya merampingnya partai politik dengan meningkatkan angka ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum atau parliamentary threshold, akan menimbulkan dua dampak tidak baik bagi sistem demokrasi di Indonesia.
Salah satunya, suara masyarakat yang telah menetapkan pilihan pada partai, tetapi partainya tak lolos parliamentary threshold akan terbuang.
"Karena cara bekerja dari parliamentary threshold ialah memangkas langsung partai politik yang tidak mampu meraih suara minimal. Tentunya berdampak pada terbuangnya secara sia-sia suara masyarakat yang memllih partai politik tersebut di balik bilik suara," ujar Maskyur di Kantor Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu, Gandaria, Jakarta Selatan, Minggu (24/7/2016).
Dampak negatif kedua adalah disproporsionalitas perolehan suara partai pada pemilu dengan perolehan kursi di parlemen. Ia menyarankan DPR selaku legislator berhati-hati dalam menentukan besaran persentase parliamentary threshold dengan mempertimbangkan dampak-dampaknya.
"Jika memang tujuan dasar meningkatkan besaran ambamg batas suara untuk menyederhakan partai politik dalam rangka menciptakan sistem multipartai sederhana, Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 patut dijadikan rujukan dari ketidakmampuan ambang batas parlemen untuk mencapai tujuan tersebut," tutur Maskyur.
Menurut dia, salah satu langkah yang dapat diambil legislator dalam rangka menekan banyaknya friksi di DPR adalah dengan menciptakan sistem multipartai sederhana,
"Maksimal lima partai politik, ialah dengan memperkecil jumlah alokasi kursi perdaerah pemilihan. Misalnya dari 3 sampai 10 kursi menjadi 3 sampai 6 kursi," tutup Maskyur.