Liputan6.com, Jakarta - Perwakilan Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Agung Sapta Adi menuturkan, betapa bebasnya perdagangan obat di Tanah Air, khususnya di Ibu Kota sekarang ini.
Menurut dia, hal itu dikarenakan tidak adanya kejelasan dari pemerintah, tentang siapa yang seharusnya mengurusi atau mengatur peredaran obat-obatan di masyarakat.
"Ini pasar bebas karena tidak ada yang mengendalikan, meregulasi, semua bisa menjual, dan semua bisa menggunakan," ungkap Agung dalam diskusi bertema 'Darurat Farmasi: Melawan Pemalsuan Vaksin dan Obat' di Kuningan, Jakarta, Minggu 24 Juli 2016.
"Artinya gini dokter bisa meresepkans obat keras, tetapi pasien bisa mendapatkan obat keras juga (tanpa resep)," tambah dia.
Agung menjelaskan perbedaan obat asli dan palsu adalah manfaat dan efek sampingnya. Ini merupakan masalah serius, yang sifatnya lebih besar daripada sekadar kesehatan seseorang.
"Kalau masalah kesehatan tidak selalu identik dengan obat, tetapi ketika konsumsi obat itu tinggi, pasti ada sesuatu di balik itu, ada kepentingan bisnis dan sebagainya," kata dia.
"Jadi ini bukan wilayahnya profesi, tapi wilayahnya pemerintah atau negara, di mana dia gagal dalam mengendalikan sistem yang seharusnya mengikat semuanya. Tidak hanya dokter, rumah sakit, tapi juga distributor," sambung Agung.
Jadi, Agung menyimpulkan, omong kosong jika dikatakan bahwa obat asli itu dijual distributor resmi. "Ternyata tidak. Distributor resmi itu ada, tapi kemudian ada distributor-distributor yang dibilang dia ilegal enggak juga, dan itu udah bertahun-tahun," sambung dia
Agung mencontohkan pasar di Jakarta yang memperjual belikan tak hanya obat, tetapi juga alat-alat kesehatan secara bebas.
"Jalur distribusi obat kita betul-betul kacau. Kalau kita sebut aja Pasar Pramuka itu ilegal, itu PD Pasar Jaya, itu apotik rakyat," kata dia.
"Kemudian apakah pendapatan mereka itu ilegal? tidak semua, mereka mendapatkan dari produsen obat. Bahkan, dari distributor obat, terus kenapa ini terjadi? Saya juga bingung," imbuh Agung.
Menurut Agung ketika ada apotik A yang menjual obat harganya sesuai dengan kesepakatan dan apotik B, ternyata harganya sangat miring, itu harus dipertanyakan, mengapa sampai bisa berbeda seperti itu?
"Nah, inilah yang saya bilang sulit untuk diidentifikasi bahkan pihak RS walau pun unit dari RS tersebut memasukkan obat dari jalur resmi tapi tidak ada stock, kosong distibutor, itu istilah yang sering saya dengar. Pada akhirnya muncul pemain-pemain yang disebutnya ilegal," pungkas Agung.
Dokter Indonesia Bersatu: Penjualan Obat Seperti Pasar Bebas
Agung mencontohkan pasar di Jakarta yang memperjual belikan tak hanya obat, tetapi juga alat-alat kesehatan secara bebas.
Advertisement