Liputan6.com, Jakarta - Kasus suap reklamasi terkuak setelah KPK menangkap tangan M Sanusi. Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta itu disangka menerima suap dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengaku kecewa dengan langkah para pengembang tersebut. Hal itu dianggapnya sebagai tindakan tak etis.
"Pengembang menyuap dewan berarti mereka menusuk saya. Ini tidak benar, Anda (pengembang yang) berjanji, sudah kirim barang ke saya, kok tiba-tiba menusuk saya. Di depan saya manis, ini tidak wajar," ujar Ahok saat bersaksi di persidangan Tipikor, Jakarta, Senin (25/7/2016), untuk terdakwa mantan Presdir Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja.
Advertisement
Ahok mengungkapkan tak mungkin menggunakan anggaran daerah dalam membangun Jakarta. Perlu ada tambahan dana di luar APBD untuk menopang pembangunan infrastruktur.
"Enggak mungkin kita gunakan uang APBD bangun infrastruktur. Ini ada reklamasi pulau, ini kesempatan buat bangun Jakarta," ujar Ahok.
Dengan adanya tambahan 15 persen dari pengembang reklamasi, kata Ahok, Pemda DKI akan mendapatkan dana sebesar Rp 179 triliun.
"Kita bisa langsung bangun 120 ribu rusun dengan uang ini. Bisa selesaikan tanggul A yang menjadi perhatian Bappenas," ujar Ahok.
Kasus suap ini bermula ketika akhir Januari 2016 Ariesman diduga mengarahkan anak buahnya, Trinanda Prihantoro, untuk berkoordinasi dengan anggota DPRD DKI Mohamad Sanusi guna menyampaikan masukan-masukan dari APL dalam draf Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (RTRKSP) Jakarta.
Pihak APL ingin Sanusi berupaya untuk menghilangkan pasal soal tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual. Pasal itu diupayakan agar tak dicantumkan di raperda, tetapi dituangkan dalam pergub.
Ariesman sendiri didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.