Sukses

Kisah Terpidana Mati Merry Utami, Pria Bule, dan Sang Putra

Pada 2001, Merry Utami memutuskan kembali menjadi TKI di Hongkong. Lantaran, butuh dana besar untuk pengobatan anaknya.

Liputan6.com, Sukoharjo - Merry Utami menjadi salah satu napi yang akan menghadapi eksekusi regu tembak. Bagai tersambar petir, dia mendapat vonis mati setelah kedapatan membawa heroin seberat 1,1 kilogram di Bandara Soekarno-Hatta pada 31 Oktober 2001.

Pada 2001, Merry Utami memutuskan kembali merantau menjadi TKI Hong Kong. Lantaran, dia membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai anak pertamanya. Anaknya itu menderita kelainan jantung.

Merry kemudian mengurus surat-surat untuk berangkat ke luar negeri. Saat inilah dia bertemu seorang pria bule. Keduanya kemudian menjalin hubungan asmara. Terlebih, hubungan Merry dan suami sudah tak harmonis.

"Orang bulenya itu juga pernah dikenalkan kepada tantenya di Jakarta jika bule itu pacarnya," ujar Priyono yang sempat menguruskan pembuatan KTP untuk Merry saat tinggal bersama kakaknya Notosunam, Singopuran, Kartasura, Sukoharjo, Rabu (27/7/2016).

Kedua lalu berangkat ke luar negeri. Tetapi, keluarga tidak mengetahui negara tujuan mereka.

"Tahu-tahu tantenya itu ditelepon oleh si bule jika dirinya kehilangan Merry. Kemudian tahu-tahu ada kabar soal penangkapan terhadap Merry Utami yang menyelundupkan heroin 1,1 kilogram di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pada 2001. Setelah itu si bule itu dicari sudah tidak bisa ketemu lagi," ungkap Priyono jelang eksekusi mati.

Setelah ditangkap dan dijebloskan ke sel, Merry Utami harus menerima takdir pahit jika putra sulungnya yang menderita kelainan jatung meninggal dunia. Padahal, menurut Priyono, sejatinya Merry mencari pekerjaan di luar negeri untuk bisa membiayai perawatan serta pengobatan untuk si sulung.

Uang belum didapat dan berada di balik jeruji besi, Merry harus kembali menelan pil pahit.

"Anaknya mbarep (sulung) saat itu masih kelas 2 SMP kalau enggak salah. Anak itu menderita kelainan jantung. Anaknya yang sulung itu akhirnya meninggal dunia ketika Merry sedang di penjara," kata Priyono.
Kediaman keluarga terpidana mati, Merry Utami, di Notosunam, Singopuran, Kartasura, Sukoharjo. (Liputan6.com/Reza Kuncoro)
Orangtua Tunggal

Kehidupan rumah tangga yang berantakan membuat Merry pontang-panting mencari biaya untuk si sulung. Belum lagi untuk sekolah putrinya. Merry telah pisah rumah dengan sang suami. Suaminya berada di Madiun, Jawa Timur.

Masalah dengan suaminya ini terjadi saat dia berada di Hong Kong untuk pertama kalinya.

"Ada masalah keluarga. Nah Merry ini pulang ke Indonesia. Entah masalah persisnya seperti apa, mereka pisah ranjang. Dalam kondisi menganggur,  Merry  tinggal di rumah kakaknya di Singopuran, Kartasura, Sukoharjo. Sementara orangtuanya di Baluwarti, Solo. Tapi ya kadang-kadang Merry juga ke rumah bapak ibunya," Priyono menjelaskan.

Menurut dia, dalam data kependudukan, Merry Utami tercatat sebagai warga Notosunam, Singopuran, Kartasura, Sukoharjo. Merry memang sengaja mengganti identitas kependudukannya menjadi satu Kartu Keluarga bersama sang kakak kandung yang tinggal di Kartasura.

Saat itulah, dia mulai berkeinginan untuk kembali lagi ke Hong Kong.

Sebelumnya, Merry Utami ditangkap di Bandara Soekarno Hatta pada 31 Oktober 2001. Ia kedapatan membawa narkotika jenis heroin dengan berat 1,1 kilogram. Merry kemudian divonis mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang pada 18 Juli 2003.

Dia pernah mengajukan kasasi pada 20 Januari 2006. Tetapi MA menolak kasasi. Kemudian ia juga mengajukan peninjauan kembali (PK) tetapi ditolak pada 14 Maret 2016.

Nama Merry masuk daftar terpidana mati yang akan dieksekusi pada jilid III. Jaksa Agung mengungkap ada 14 nama dalam daftar tersebut, termasuk Merry dan gembong narkoba Freddy Budiman.