Liputan6.com, Jakarta - Ini bukan sekuel dari American Gangster. Sebuah film tentang perjalanan panjang gembong narkoba yang menjadikan aparat hukum sebagai tameng bisnis haramnya. Bukan juga tentang cerita Kill The Messenger, dimana negara adidaya Amerika Serikat terlibat dalam bisnis narkoba untuk membiayai perang saudara di Nikaragua. Ini cerita tentang aparat yang disebut-sebut menerima sejumlah fulus dari bisnis narkoba Freddy Budiman, napi yang sudah menjalani eksekusi mati.
Sesaat setelah eksekusi mati, sebuah tulisan menggegerkan jagad dunia maya. Tulisan itu tersebar dengan cepat. Dari satu link media sosial satu ke media sosial lainnya. Isinya, tentang pengakuan seorang terpidana mati (sudah dieksekusi) Freddy Budiman yang mengaku menyetor ratusan miliar rupiah kepada aparat. TNI, Polri, BNN, dan Bea Cukai.
Di akhir tulisan tertanda nama si penulis, Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras). Berikut isi tulisan yang tersebar di beberapa lini massa.
Cerita Busuk dari seorang Bandit:
Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)
Ditengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukin karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secra komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.
Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK). Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).
Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu), yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.
Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.
Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.
Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.
Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:
“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahata yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya.
Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (Boss saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu, saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.000 itu?”
Saya menjawab 50.000. Fredi langsung menjawab:
“Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di Cina, makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak, selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”
Fredy menjawab sendiri. “Karena saya bisa dapat per butir 200.000, jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 Miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”
Fredy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas, saya jadi dipertanyakan oleh Bos saya (yang di Cina). Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?’”
Menurut Freddy, “Saya tau pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu temukan oleh jaringan saya di lapangan.” Si Fredi melanjutkan lagi, “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu. Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.”
Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan dimana dan siapa bandarnya, saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA), saya siap nunjukkin dimana pabriknya, dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali.
Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur, ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1 Miliar dari harga yang disepakati 2 Miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”
Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi.
Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa anda tidak bongkar cerita ini? Lalu freddy menjawab:
“Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas, saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”
Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung, yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Dalam putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.
Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.
Haris Azhar (2016).
Respons BNN dan Polri
Kapolri Jenderal Tito Karnavian merespons tulisan tersebut. Tito sudah memerintahkan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar untuk bertemu dengan Haris.
"Informasinya tepatnya seperti apa. Karena kalau kita lihat yang beredar viral itu informasinya kan enggak jelas, ada polisi, ada disebut nama BNN, yang lain-lain ya. Nah kita ingin tahu," ucap Tito di kantornya, Jakarta, Jumat 29 Juli 2016.
Tito ingin meminta keaslian dan keutuhan cerita dari tulisan tersebut untuk selanjutnya diinvestigasi.
Namun, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulanan Terorisme (BNPT) ini punya asumsi lain. Pengakuan tersebut bisa saja dilontarkan Freddy agar menjadi perhatian publik dan menunda eksekusi mati.
"Bisa saja jadi alasan yang bersangkutan untuk menunda eksekusi, supaya ramai jadi tunda eksekusi," ujar Tito.
Inspektur Jenderal Purnawirawan Benny Joshua Mamoto, mantan Deputi Pemberantasan BNN yang juga menangkap Freddy dalam penyelundupan 1.412.476, Mei 2012, menyayangkan langkah Haris yang baru mengungkap pengakuan Freddy usai eksekusi mati dilakukan pada, Jumat 29 Juli 2016, sekitar pukul 00.45 WIB. Padahal, Haris menyebut dia bertemu dengan Freddy pada 2014 lalu.
"Kenapa baru sekarang setelah orangnya dieksekusi?" kata Benny yang saat ini aktif di jalur akademik Pascasarjana UI.
Seharusnya, kata Benny, Haris dapat meneruskan informasi yang didapatnya itu ke instansi yang berwenang. "Supaya ditindaklanjuti, bukan sekedar di Medsos," ujar Benny.
Benny melihat ada beberapa kejanggalan dalam tulisan yang diunggah Haris. "Kita justru pertanyakan apa maksud dan tujuan dia sebarkan di medsos. Sementara itu semua pihak tidak bisa konfirmasi. Kita perlu pertanyakan karena dia juga tahu dan sadar kalau infonya tidak akan bisa dikonfirmasi kepada FB (Freddy Budiman)," terang dia.
"Apakah ini bentuk pembelaan atau alasan bahwa eksekusi tersebut tidak layak?" dia melanjutkan.
Benny mencatat, selain sebagai bandar narkoba, Freddy juga sebagai pecandu dan mengganggu cara berfikir, bersikap dan bertindak.
"Apakah omongan pecandu seperti ini bisa dipercaya? Pengalaman saya memeriksa pecandu atau pengguna narkoba, lebih banyak bohongnya dan tidak ada rasa malu dan rasa bersalah," tegas Benny.
Kepala Humas BNN Kombes Slamet Pribadi mengatakan, Kepala BNN Komjen Budi Waseso meminta yang mengatasnamakan Harris Azhar selaku penulis berita tersebut, dapat membuktikan yang diungkapkan Freddy Budiman dalam kesaksiannya.
"Jika terbukti, oknum BNN membantu Freddy Budiman dalam melancarkan bisnis Narkobanya, maka BNN akan memberikan sanksi yang tegas dan keras sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," kata Slamet, Jumat 30 Juli 2016.
Advertisement
Investigasi Ditjen Pemasyarakatan
Direktur Jenderal Pemasyarakatan I Wayan Kusmiantha Dusak saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat 29 Juli 2016, menegaskan tidak ada pihak manapun yang dapat mencabut Closed Circuit Television (CCTV).
Haris dalam tulisannya tersebut menyebut ada pejabat BNN yang meminta pihak pemasyarakatan untuk mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy.
"Enggak boleh itu, emang (BNN) atasan saya?" kata Dusak.
Menurut Dia, napi-napi tertentu dengan kategori 'high risk' memiliki pengawasan ketat. Napi dengan tingkat risiko tinggi tersebut seperti bandar atau napi bisa membahayakan dirinya sendiri atau orang lain.
Menurut Dusak, kamera pengawas tidak hanya berada di pintu portir, namun juga mengarah ke kamar dan blok Freddy Budiman.
"Memang yang di tempat high risk disorot ke blok, di depan kamar. Jadi siapa yang keluar kamar keliahatan. Ini untuk mengakali kekurangan pegawai," kata Dusak.
Pemasangan kamera sendiri sepenuhnya adalah dari pihak Pemasyarakatan, tidak ada perbantuan dari pihak luar. "2005-2006 pernah ada bantuan dari BNN, berupa pemasangan jamer (alat pengacal sinyal)," terang Dusak.
Dia menambahkan, pihaknya saat ini tengah menyelidiki pernyataan yang ditulis Haris atas dasar pengakuan Kalapas NK (Nusakambangan, tidak disebutkan Lapas apa) Liberty Sitinjak yang juga mantan Kalapas Abepura ini.
"Kita lagi tanyakan, lagi investigasi. Saya minta inspektorat menelusuri ini. Apakah dia membuat laporan atas apa yang ditulis itu (diminta mencabut CCTV)," ujar Dusak.
"Jangan-jangan cuma pengakuan Freddy Budiman saja. Dia (Freddy) kan bisa ngarang cerita seribu macam," kata Dusak.
Sementara itu, Haris menyerahkan kepada penegak hukum untuk membuktikan kebenaran cerita tersebut. "Secara normatif pembuktian tugasnya negara," tegas Haris.
Dia pun bersedia dan siap sepenuhnya jika pihak Polri, TNI, dan BNN memanggilnya untuk mengungkapkan atau menggali lebih dalam soal cerita Freddy. "Saya siap, kabarnya Pak Boy Rafli juga akan ketemu dengan saya," ujar Haris.
Dia juga bercerita mengenai penuturan Freddy tersebut ke Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Johan Budi.
Cerita kepada mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu pada Senin malam 25 Juli 2016. Tapi tak ada tanggapan. Bahkan, sampai saksi kunci soal mobil bintang jenderal dua yang digunakan untuk membawa narkoba itu dieksekusi mati.
"Senin sore saya telepon Johan Budi. Saya bilang, mas ada informasi seperti ini dan dia bilang ini penting dan dia saya harapkan bicara dengan Jokowi. Tapi Senin sore dan sampai Kamis tidak ada kabar sedikit pun," beber Haris di kantronya, Kramat Senen, Jakarta, Jumat malam 29 Juli 2016.
Merasa tak ada tanggapan, Haris berinisiatif mengirimkan catatan Freddy Budiman terkait dugaan adanya pejabat terlibat jaringan narkoba, kepada Johan Budi.
"Akhirnya tulisan saya kirim ke Johan Budi dan hitungan menit ditelepon. Ketika sampai Kamis dia tidak jawab, sampai dia bilang ternyata dia juga enggak tahu kalau akan dieksekusi, Freddy," kata Haris.
Maklum untuk yang Tak Sepaham
Jaksa Agung HM Prasetyo mengakui langkah pelaksanaan undang-undang, eksekusi mati, mendapat banyak kritik dari berbagai pihak. Meski demikian, eksekusi dipastikan akan tetap berjalan.
"Komentar yang cenderung bermakna menyalahkan, mencurigai, dapat saya maknai sebagai sebuah dukungan," kata Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jalan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Jumat 29 Juli 2016.
"Bahwa eksekusi mati bandar dan pengedar harus tetap dilaksanakan, meski di sisi lain baik di dalam atau di luar ada saja yang memberikan komentar menolak dan sebagainya," dia melanjutkan.
Langkah ini adalah sebagai upaya perang berkelanjutan melawan kejahatan narkoba. Prasetyo meminta pihak-pihak yang masih menolak hukuman mati untuk bisa memakluminya.
"Yang masih belum sepaham, saya berharap bisa memakluminya," kata Politikus Nasdem ini.
Advertisement