Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung telah mengeksekusi empat terpidana mati kasus narkotika. Sementara 10 terpidana lainnya yang masuk dalam daftar tereksekusi mati jilid III, ditangguhkan.
Belum jelas penyebab penangguhan eksekusi mati tersebut. Kejaksaan Agung hanya menyebut memiliki alasan khusus ketika melakukan penundaan.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan pihaknya akan mempertanyakan alasan penundaan tersebut kepada Jaksa Agung dalam rapat kerja.
"Alasan penundaan 10 terpidana mati yang tidak jadi dieksekusi belum diketahui persis oleh Komisi III. Namun, ini akan menjadi salah satu pokok bahasan dalam rapat dengar pendapat Jaksa Agung dengan Komisi III pada masa sidang yang akan datang," kata Arsul saat dihubungi di Jakarta, Selasa (2/8/2016).
Termasuk, lanjut dia, kemungkinan adanya intervensi dari negara lain.
"Kami akan mendalaminya, termasuk apa ada faktor-faktor intervensi dari negara lain atau semata-mata hal-hal yang merupakan aspek teknis hukum saja," tandas Arsul.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP)‎ ini mengaku tidak percaya dengan kabar yang menyebutkan penundaan eksekusi mati karena Kejagung menerima berbagai masukan. Beberapa di antaranya masukan dari mantan Presiden RI BJ Habibie dan Komnas Perempuan.
"Saya sendiri tidak yakin kalau penyebabnya adalah adanya imbauan-imbauan itu. Sebab kalau karena imbauan, maka mestinya semua ya ditunda," ujar Arsul.
Kesepuluh terpidana mati yang batal dieksekusi pada 29 Juli 2016 adalah Agus Hadi, Pujo Lestari, Merry Utami dari Indonesia. Kemudian Obina Nwajagu bin Emeuwa, Eugene Ape, Okonkwo Nongso Kingsley dari Nigeria‎. Lalu Ozias Sibanda dan Fredderik Luttar dari Zimbabwe. Selanjutnya Gurdip Singh dari India dan Zulfiqar Ali dari Pakistan.