Liputan6.com, Jakarta - Testimoni 'Cerita Busuk dari seorang Bandit' bikin geger. Tiga institusi negara terusik oleh kisah percakapan antara terpidana mati Freddy Budiman dengan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar.
Dalam tulisan yang diunggah ke media sosial itu, Freddy diceritakan mengaku kepada Haris jika dirinya telah memberikan uang ratusan miliar rupiah kepada penegak hukum di Indonesia untuk melancarkan bisnis haramnya di Tanah Air. Haris mengakui, itu benar merupakan tulisannya.
Pada Selasa malam 2 Agustus 2016, Polri, TNI, dan Badan Narkotika Nasional (BNN) melaporkan Haris ke Bareskrim Polri. Pria berkacamata itu diberondong dengan pasal penistaan, fitnah, dan pencemaran baik dalam KUHP, serta pasal dalam UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Informasi yang dibeberkan Haris lewat tulisannya dianggap cuma bualan tanpa bukti.
"Saya kira wajar, hak dari orang atau institusi yang merasa dirugikan dengan informasi yang dianggap prematur dan tak kredibel. Sehingga bisa menyebabkan nama baik menjadi tak bagus," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (3/8/2016).
Ngawur?
Haris bisa menjadi tersangka bila dalam penyelidikan nanti ditemukan dua alat bukti adanya unsur pidana dalam penyebaran informasi yang belum teruji kebenarannya.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengungkapkan, tidak menutup kemungkinan bahwa kelanjutan laporan terhadap Haris Azhar dapat naik ke ranah penyidikan.
Apalagi bila Haris tidak dapat membuktikan kebenaran testimoni yang disampaikan Freddy Budiman.
Boy mengatakan, Polri meragukan pernyataan Haris sesuai dengan apa yang disampaikan Freddy. Belum lagi, isi testimoni Freddy yang disampaikan hanya berdasarkan ingatan Haris sewaktu berbincang dengan Freddy di Nusakambangan.
"Karena ini berkaitan dengan internet, maka ini penyelidikan dengan digital atau tim cyber. Karena kalau dapat membuktikan (kebenaran testimoni Freddy), penyebarluasaan pencemaran nama baik itu dapat gugur. Sebaliknya, kalau tidak dapat dibuktikan maka akan berdampak hukum," kata Boy di kompleks Mabes Polri, Jakarta.
"Tidak ada rekaman, hanya penulisan kembali daya ingat Pak Haris terhadap yang diucapkan Freddy Budiman di Lapas," ucap dia.
Advertisement
Testimoni tersebut, sambung dia, bisa jadi sebagai upaya Freddy lolos dari jerat hukuman mati. Sementara testimoni tersebut tidak ada dalam pledoi atau pembelaan Freddy ketika menjalani sidang kasus narkobanya di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2013.
Padahal pada testimoni itu, Freddy kepada Haris menyebut ada keterlibatan TNI, Polri, dan BNN dalam kasus dugaan peredaran narkoba.
"Whistleblower bagus, tapi yang penting ada fakta aja. Kalau enggak ada, namanya ngawur," tutur dia.
"Kami menilai, meragukan apa yang disampaikan Freddy ke Haris. Kami meragukan perkataan Freddy adalah kebenaran. Indikasi ada ketidakbenaran masalah pledoi, jadi kondisi ini membuat kita harus bersikap," sambung Boy.
"Ungkapan yang tidak mendasar dalam transkrip itu bisa mencederai semangat perjuangan kepolisian yang berjuang melawan narkoba."
Menurut dia, pernyataan Haris Azhar yang menyebut ada petugas BNN turut serta bersama Freddy Budiman ke Tiongkok untuk mengecek kondisi pabrik narkoba juga tidak benar.
"Pleidoinya setebal 20 halaman. Ada di Pengadilan Jakarta Barat. Enggak ada kaitannya dengan yang curhatannya dimuat di sana. Juga perkataan ke Haris, Freddy pernah pergi ke Cina dengan petugas BNN untuk cek kondisi pabrik. Itu hal yang mustahil," ujar Boy.
Dan jika pun testimoni itu benar pernah dituturkan oleh Freddy, tetap saja posisi gembong narkoba yang telah dieksekusi mati itu diragukan kredibilitasnya. Kapolri Jenderal Tito Karnavian menilai, kredibilitas Freddy Budiman diragukan sebagai informan lantaran yang bersangkutan merupakan terpidana beberapa kejahatan.
"Tapi kalau saya lihat dari kasus ini. Yang bersangkutan, Freddy, dia terlibat beberapa pidana, sehingga mungkin kredibilitasnya sebagai sumber informasi belum tentu konsisten," ucap Tito.
Dia pun menasihati Haris agar tak buru-buru menyebarkan informasi kepada publik. Lebih baik, kata Tito, Haris mengecek kembali informasi yang diberikan gembong narkoba Freddy Budiman sebelum disiarkan ke publik.
"Sebaiknya, Haris Azhar sebelum sampaikan ke publik, cari dululah. Kroscek dahulu sumber informasinya yang lain. Kalau ini benar-benar didukung informasi yang lain, baru (disebarkan)," ucap Tito.
Tak Perlu Takut
Sementara Haris sendiri mengaku kecewa dengan aksi pelaporan tiga institusi tersebut. Dia merasa niat baiknya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia untuk membangun negara tidak disambut baik oleh pemerintah.
Malah, peristiwa ini dapat dikatakan sebagai ancaman bagi demokrasi negara karena masyarakat yang ingin mengeluarkan aspirasi dan memberikan informasi justru dipidanakan.
"Berkaitan dengan pelaporan, ini sebenarnya modus di banyak tempat. Banyak aktivis dan jurnalis yang menuntut hak mereka, tapi malah dikriminalkan. Kasus yang mereka laporkan tidak disikapi," ujar dia.
"Menurut saya, ini seperti ancaman terhadap demokrasi. Orang berbicara, orang berpendapat malah dipidanakan," sambung Haris.
Menurut dia, keputusannya untuk membeberkan informasi ini tidaklah salah. Sebab, masyarakat menjadi sadar dan tahu bahwa masih banyak praktik narkoba merajalela dan belum terhentikan karena ada keterlibatan dari para aparat penegak hukum.
"Saya pikir masyarakat satu barisan semuanya, untuk melawan narkoba dan ini jadi pengetahuan publik juga di lapangan. Banyak praktik kejahatan narkoba yang terkait dengan sejumlah oknum atau personel dari aparat penegak hukum (APH)," kata Haris.
Kasus ini, sambung Haris, seharusnya dapat dengan mudah terselesaikan jika ada kemauan dan keberanian dari negara untuk mengusut tuntas akar gembong narkoba yang diduga melibatkan sejumlah institusi hukum negara tersebut. Menurut dia, publik butuh rasa keamanan tentang bagaimana peredaran narkoba menjangkit kehidupan saat ini, termasuk di lembaga penegak hukum.
"Tiga institusi negara ini BNN, polisi, TNI adalah milik publik, publik yang resah bahwa hari ini narkoba masih beredar."
"Saya masih keukeuh untuk bicara kalau ini soal keberanian dan kemauan dari negara. Kalau saya dibebankan harus membuktikan, agak salah kaprah juga. Dikotonominya jangan terlalu luas, saya hidup di tengah masyarakat, ambil informasi dari masyarakat juga. Yang saya kasih cuma petunjuk," lanjut dia.
Terkait hal ini, Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan, Haris tidak perlu takut jika dia bisa mempertanggungjawabkan apa yang dikatakannya terkait dengan curhatan Freddy Budiman. Pria yang karib disapa Akom itu berharap, BNN, TNI, dan Polri dapat menindaklanjuti, memproses, dan menyelidiki, sesuai dengan batas kewenangan.
"Kalau nanti saudara Haris dapat mempertanggungjawabkan dengan baik bahwa itu benar, tidak harus khawatir meski diproses 3 institusi tersebut," ucap Akom.
"Kalau kita benar tidak usah takut. Itu kan normal dalam proses hukum. Tidak usah kaget juga karena itu dimungkinkan dalam penegakan hukum," sambung dia.
Sementara teman dekat Freddy Budiman, Anggita Sari menilai, curhat Freddy harus menjadi titik balik semua lapisan penegak hukum agar tidak lagi main mata dengan bandar narkoba. Menurut dia, polisi tak perlu menelusuri curhatan si gembong narkoba.
Anggita percaya soal curhatan Freddy yang dipublikasikan oleh koordinator Kontras Haris Azhar. Salah satunya saat melihat keadaan Freddy ketika ditahan di Lapas Cipinang. Segala keperluan gembong narkoba itu terpenuhi.
"Saya juga tidak meragukan (cerita itu). Saya kan kenal Mas Freddy. Ya saya cuma minta masyarakat bisa melihat terang, kenapa Mas Freddy kok diistimewakan sekali?
Bagaimana Mas Freddy di Cipinang terus Mas Freddy itu masih bisa aja (transaksi)," ujar Anggita.
Pengacara hingga Saksi
Buntut testimoni yang kini berujung pada laporan 3 institusi tersebut tak cuma bikin gerah Haris Azhar. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat mengatakan, pernyataan Haris seharusnya hanya disikapi biasa, sebagai hak untuk menyampaikan pendapat dan informasi.
Dia menilai, pelaporan Haris khususnya oleh kepolisian, membuat tidak adanya reformasi internal di tubuh Korps Bhayangkara itu. Menurut Imdadun, pernyataan Haris bisa dijadikan bahan bagi kepolisian untuk perbaikan.
Dia khawatir, pelaporan terhadap Haris ini berdampak kepada masyarakat, yaitu takut dikriminalisasi pihak aparat jika mempunyai sebuah informasi.
"Kita berharap ini disikapi sebagai implementasi kebebasan orang menyampaikan pendapat dan informasi. Jadi tidak dinilai negatif sebagai pencemaran nama baik," ucap Imdadun di kantornya, Jakarta.
"Sebenarnya kita bisa melihat dari sini, apakah arus spirit reformasi di internal Polri itu jalan atau tidak. Kalau ini dikriminalkan, saya kok agak pesimis kalau dikatakan proses reformasi internal Polri berjalan dengan baik," sambung dia.
Sementara Kontras mengaku kecewa berat.
"Kita cuma kecewa. Kami sesalkan kepolisian dan pihak terkait yang melakukan pelaporan gagal sampaikan pesan. Padahal pesan ini adalah informasi penting yang bisa
ditindaklanjuti oleh berbagai lembaga negara terkait," kata Wakil Koordinator Advokasi Kontras, Yati Andriyani di Kantor Kontras, Kwitang, Jakarta.
Staf Divisi Pembelaan Sipil dan Politik Kontras, Satria Wirataru mengatakan ketiga institusi itu seharusnya menelusuri pengakuan Freddy melalui Haris tersebut. Bukan justru memidanakan Haris.
Menurut dia, ketiga institusi itu bisa menelusuri petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan pengakuan Freddy tersebut, seperti rekaman CCTV dan daftar kehadiran di LP Nusakambangan.
"Bang Haris juga dengar informasinya bersama kalapas (kepala lapas) dan rohaniwan. Tinggal dilihat wajah orang itu orang BNN atau tidak atau lihat daftar hadir. Apakah sudah di-BAP, rohaniwan dan kalapas? Nah, itu kan belum dilakukan, malah pelaporan balik," tutur Satria.
"Kita tidak ada maksud mencemari institusi apa pun. Yang kita harapkan adalah bagaimana kasus ini bisa ditindaklanjuti untuk jadi bahan koreksi ke depan."
Sedangkan Haris Azhar sendiri mengaku siap menghadapi laporan yang dituduhkan kepadanya oleh tiga institusi negara. Salah satunya dengan menggandeng pengacara. Para pengacara tersebut berasal dari organisasi bantuan hukum pro bono alias tidak dibayar.
"Saya sudah ada tim kuasa hukum. Hari ini akan bertemu dan sedang menyiapkan dokumen-dokumen mengenai kejahatan narkoba yang terkait dengan APH (aparat penegak hukum)," kata Haris di markas Kontras.
"Ada teman-teman dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia), LBH (Lembaga Bantuan Hukum), sama alumni-alumni temen kuliah," ujar Haris.
Tak hanya itu saja, sejumlah saksi-saksi yang menurut Haris adalah orang yang juga turut mengetahui penuturan Freddy Budiman ketika di LP Nusakambangan, bersedia jika sewaktu-waktu dipanggil untuk dimintai keterangannya.
Mereka adalah Liberty Sitinjak, eks Kalapas Batu, dua orang rohaniwan, John Kei, dan seorang narapidana yang tinggal satu blok dengan Freddy.
"Ada John Kei, Pak Sitinjak Kalapas, pelayan rohani 2 orang, baik yang di dalam dan di luar. Media kan bisa minta keterangan dari situ. Bahkan media sudah lebih maju. Sudah hubungi Pak Sitinjak, Pak Andreas salah satu rohaniawan yang ada di Malang yang waktu itu ajak saya ke Nusakambangan juga," Haris menuturkan.
Haris Azhar mengunggah tulisan yang berjudul 'Cerita Busuk dari seorang Bandit: Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)' ke media sosial. Tulisan itu berisi curhatan Freddy.
Kepada Haris, Freddy mengaku telah memberikan uang ratusan miliar rupiah kepada penegak hukum di Indonesia untuk melancarkan bisnis haramnya di Tanah Air.
"Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, saya sudah memberi uang Rp 450 miliar ke BNN. Saya sudah kasih Rp 90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang dua," kata Freddy seperti dikutip dari laman Facebook Kontras.
Haris Azhar sendiri mengakui dia lah penulis artikel singkat tersebut. Pada konferensi pers di Kontras, dia juga mengaku sudah memberikan tulisannya ke Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Johan Budi.
"Saya memutuskan mempublikasikan tulisan ini untuk menyampaikan pesan bahwa jika pemerintah mengeksekusi orang ini (Freddy Budiman), maka pemerintah akan menghilangkan seseorang dengan keterangan signifikan untuk membongkar kejahatan pejabat institusi negara dan ratusan miliar uang untuk suap menyuap," tutur Haris.