Liputan6.com, Jakarta - Bareskrim Polri kini menindaklanjuti laporan institusinya sendiri bersama TNI dan Badan Narkotika Nasional (BNN), terkait tulisan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Haris Azhar terkait testimoni terpidana mati Freddy Budiman.
Tulisan di Facebook tersebut diduga menyudutkan tiga instansi penegak hukum itu. Tulisan itu diunggah sehari pasca Freddy Budiman dieksekusi mati, di mana Haris menceritakan pengakuan Freddy bekerja sama dengan aparat untuk menjalankan bisnis narkobanya.
Tulisan itu dinilai sebagai bentuk pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap TNI, Polri, dan BNN, karena tidak didasari data kuat. Misalnya, nama pejabat Polri yang disebut-sebut menerima uang Rp 90 miliar dari Freddy untuk melancarkan bisnis haramnya itu.
Advertisement
Kini, BNN akan membuka diri terkait segala informasi berkaitan dengan narkoba. Dalam kasus Haris, BNN ingin bekerja sama dengan semua pihak guna membuktikan testimoni terpidana mati kasus narkoba Freddy.
Kepala Humas BNN Komisaris Besar Slamet Pribadi mengatakan, niat baik Haris dalam membongkar keterlibatan aparat dalam bisnis narkoba patut mendapat apresiasi. Hanya saja, waktu penyampaian informasi dinilai tidak tepat.
"Dipersilakan kepada pak Haris membuktikan. Kalau tidak berwenang membuktikan, berikan alat bukti untuk mendukung pembuktian itu," kata Slamet dalam diskusi bertema 'Hitam Putih Pemberantasan Narkoba' di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/8/2016).
Segala informasi yang masuk BNN akan diidentifikasi dan diolah. Tapi kasus Haris, BNN tak mau bergulir tanpa kepastian hukum. Apalagi pernyataan Haris menyebutkan institusi, karena itu harus dipertanggungjawabkan.
"Informasinya belum konkret, waktunya sengaja diundur baru disimpan. Kalau memang mau, pak Haris datang saja ke BNN, ini ada informasi silakan disampaikan, kami akan telusuri," kata Slamet.
Tidak jadi soal bagi BNN bila ada tim independen bentukan pemerintah. Bahkan, bila mereka datang dan membutuhkan data serta informasi, BNN siap membantu.
"Mana kala ada badan investigasi, silakan. BNN membuka diri," ujar Slamet.
Berdasarkan catatan BNN, ada 72 jaringan narkoba yang berperan di Tanah Air. Setiap jaringan punya tingkatan masing-masing. Ironisnya, Freddy masih tergolong jaringan kecil.
"Freddy Budiman itu masih rendah. Di atasnya ada penyandang dana lagi yaitu Akiong (Chandra Halim) yang sekarang sudah ditangkap dan mendekam di LP Cipinang," kata Slamet.
Sebenarnya tidak ada yang begitu spesial dari sosok Freddy. Slamet melihat Freddy hanya pandai memainkan sensasi pada waktu yang tepat.
"Kalau kita sebut Freddy terlalu rendah kepandaiannya, dia pandai memainkan sensasi," ujar Slamet.
Informasi Sensitif
Pada kesempatan sama, mantan Deputi Pemberantasan BNN Benny Mamoto menegaskan, orang yang berperan di balik Freddy sesungguhnya Akiong. Bahkan, Akiong memiliki akses hingga ke jaringan Tiongkok.
"Dia yang punya koneksi ke Tiongkok. Jadi saya bingung kalau disebut Freddy datang langsung ke Tiongkok untuk melihat pabrik, karena dia tidak punya koneksi itu," kata Benny.
Benny cukup kaget melihat pernyataan Haris yang berisi testimoni Freddy. Bagi dia, informasi ini sangat sensitif.
"Informasi ini sangat penting, tapi sekaligus sensitif. Sangat penting karena kalau bisa dibuktikan akan besar kontribusinya untuk membersihkan ke dalam," kata dia.
Tidak aneh memang bisnis narkoba melibatkan oknum aparat penegak hukum di Tanah Air. Bahkan mereka yang terlibat dari berbagai profesi.
"Selama kami menjabat, kita banyak menindak aparat. Banyak, membekingi, kurir sudah terungkap, nyaris semua lapisan profesi. Mantan ketua MK (Akil Mochtar) setelah tes DNA positif, pilot, kolonel sudah," ujar Benny mencontohkan.
Modus keterlibatan aparat juga beragam. Namun, keseriusan upaya memberantas narkoba dapat dilihat dari vonis yang dijatuhkan hakim, saat di pengadilan.
"Bicara keterlibatan aparat memang sudah berlangsung lama dan pasti ada. Menyikapi itu semua kita bisa ikuti vonis yang diberikan pengadilan juga tindakan institusi. Komitmen menertibkan ke dalam bisa diuji dengan pengungkapan kasus yang ada," tandas Benny.
Bagaimanapun, kepolisian kini tetap akan menggulirkan kasus ini guna menjadi pelajaran bagi masyarakat tentang penyebaran informasi yang tidak akurat.
"Saat ini kaitan penyelidikan kita memberikan pembelajaran tentang penyampaian informasi tidak akurat," kata Kelapa Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul, pada kesempatan yang sama.
Sejak awal pesan berantai itu beredar, Polri langsung menjadikan isu itu sebagai bahan masukan. Informasi ini kemudian diolah dan ditindaklanjuti secara internal hingga saat ini.
"Pak Kapolri mendengar hal itu, kemudian memerintahkan, menugaskan pak Kadiv Humas untuk berkomunikasi dengan saudara Haris. Setelah bertemu, ternyata tidak ada bedanya informasi yang didapat. Kemudian, dilaporkan ke Kapolri dan diperintahkan Irwasum dan Propam Polri untuk melakukan pendalaman," Martinus menjelaskan.
Pemeriksaan internal Polri saat ini fokus pada isi pesan berantai itu. Dalam pesan disebutkan ada uang Rp 90 miliar kepada pejabat Polri. Karena itu, saat ini para perwira terus bekerja untuk mengungkap isu miring ini.
"Kita harus bedakan antara institusi dan pejabat Polri," pungkas dia.
Udang di Balik Batu?
Polri menduga ada kepentingan pribadi Haris menyebarluaskan pengakuan Freddy Budiman, mengenai banyaknya pejabat institusi penegak hukum yang ikut menikmati uang hasil penjualan narkobanya.
Dugaan itu muncul karena Haris mengaku informasi tersebut didapat dari Freddy pada 2014. Polri mempertanyakan alasan Haris tak segera melaporkan ke institusi terkait, jika benar Freddy mengaku bekerja sama dengan aparat.
Polri juga heran alasan Haris mempublikasikan percakapannya dengan Freddy, beberapa hari jelang Freddy menjalani eksekusi mati, sehingga polisi tak dapat mengecek.
"Tentu kita melihat apabila diterima percakapan pak Haris dari 2014, kan bisa dilaporkan ke kita. Apalagi setelah dua tahun tak disampaikan ke institusi kita untuk diusut. Tetapi disebarluaskan ke medsos," ujar Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar di Yogyakarta hari ini.
"Dalam konteks disebarluaskan ke masyarakat, ada tujuan-tujuan lain, yang sebenarnya apabila disampaikan kepada kita dari awal, itu lebih baik. Bisa diusut dengan tuntas," Boy menambahkan.
Boy menyesalkan pernyataan Haris terkait dugaan aliran Rp 90 miliar dari Freddy ke aparat Kepolisian. Tentu hal itu membuat masyarakat curiga kepada pejabat Polri. Padahal, berita tersebut belum dikonfirmasi kebenarannya.
"Antara lain di Polri disebutkan adanya pejabat Mabes Polri. Pejabat kan banyak. Tentunya kita perlu tahu siapa, yang mana, dimana, yang katanya diberi Rp 90 miliar itu kapan," sebut Boy.
Membawa kasus Haris ke jalur hukum dinilai cara paling elegan, menurut institusi aparat penegak hukum yang namanya disebut-sebut dalam tudingan itu.
"Infonya belum valid, sudah disebarluaskan ke publik. Kalau dikatakan oknum tertentu masih lumayan. Ini dikatakan pejabat Polri. Kan pejabat banyak. Jalur hukum cara paling elegan (menyikapi sikap Haris)," ucap Boy.
Mantan Kapolda Banten ini menilai upaya hukum yang ditempuh TNI dan Polri serta BNN dalam kasus Haris, berlandaskan kekuatan hukum. Yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 8 Tahun 2011 (UU ITE), yang mengatur Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik, Penghinaan dan semacamnya.
"Kami tidak bermaksud dengan tujuan-tujuan ingin mengkriminalkan pak Haris, tidak. Kami tetap telusuri kebenaran isi percakapan (Freddy dan Haris). Mengkriminalisasi itu kalau hukumnya tidak ada, tapi diada-adakan," Boy menjelaskan.
Proses hukum terhadap Haris, kini dalam proses penyelidikan, mengingat polisi masih mengumpulkan alat bukti untuk menaikkan ke tingkat penyidikan. Namun, jika alat bukti cukup, Haris dapat menyandang status tersangka.
"Dalam penentuan tersangka, perlu dilengkapi alat buktinya. Nanti dievaluasi akan ditingkatkan ke penyidikan atau tidak. Kami ajak semua pihak kita hormati hukum yang ada di negara kita," Boy memungkasi.
Haris Berterima Kasih
Sementara, Haris sebelumnya mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo atas respons terhadap curhatan Freddy.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso atau Buwas, karena proaktif terhadap pernyataan Haris. Saat itu Buwas langsung menghadap Jokowi, setelah membaca curhatan Freddy yang ditulis Haris itu.
"Kami berterima kasih kepada Pak Jokowi yang sudah beri statemen dan juga sudah bertemu Pak Budi Waseso," ujar Haris di sela aksi 'Lawan Gelap' di depan Istana Merdeka, Jakarta, Jumat 5 Agustus 2016 malam.
Tak hanya sampai di situ, Haris menaruh harapan besar agar pemerintah serius menanggapi curhatan Freddy. Ia ingin pemerintah bersama masyarakat memberantas narkoba hingga akar-akarnya, termasuk dugaan keterlibatan penguasa.
"Tapi menurut saya, itu masih bisa dikembangkan untuk bangun konsolidasi yang lebih kuat supaya sungguh-sungguh memberantas mafia narkoba itu," kata dia.
Haris mengklaim, pihaknya kini tengah menyiapkan bukti-bukti agar apa yang disampaikan Freddy soal keterlibatan penguasa dalam peredaran narkoba, bukan hanya omong kosong belaka. Dia ingin mafia-mafia narkoba yang ada di pemerintahan dimusnahkan.
"Kami minta jaminan negara, mau tidak menindaklanjuti, karena ini persoalannya serius. Jadi apa yang saya rilis di sosmed minggu lalu itu ada jejak-jejak yang bisa ditelusuri. Ini soal kemauan aja. Ini kami punya (bukti)," dia menegaskan.
Haris tak khawatir jika negara tidak mau berupaya mengusut keterlibatan aparat dalam peredaran narkoba di Tanah Air. Pihaknya bersama elemen masyarakat lain berjanji, akan tetap mengungkap keterlibatan oknum penguasa dalam bisnis haram tersebut.
"Kalau semisal pemerintah tidak mau bekerja sama dengan kami, ya kami cuma akan bekerjasama dengan masyarakat. Data itu akan terbuka di masyarakat yang mungkin nanti malah tidak konstruktif," Haris Azhar memungkasi.