Liputan6.com, Jakarta - Perjalanan kasus kopi sianida yang menewaskan Wayan Mirna Salihin belum kunjung menemukan titik terang. Kubu terdakwa Jessica Kumala Wongso menyebut jaksa penuntut belum menemukan bukti autentik yang menyatakan Jessica sebagai penaruh racun di es kopi Vietnam yang diseruput Mirna.
Satu per satu saksi-saksi dan para ahli dihadirkan di muka persidangan. Satu per satu pula mereka membeberkan temuan, kejanggalan, serta petunjuk guna membantu hakim menilai perkara yang tengah menjadi perhatian publik ini.
Pada persidangan ke-12, jaksa penuntut menghadirkan ahli psikologi klinis, Antonia Ratih Andjayani. Psikolog jebolan UI ini menyingkap beberapa perilaku Jessica yang tidak lazim saat Wayan Mirna Salihin tewas usai menyeruput kopi di Kafe Olivier. Ratih juga membuka sisi lain psikologi Jessica saat diperiksa 6 jam di Polda Metro Jaya.
Advertisement
Berikut sisi lain Jessica yang dirangkum Liputan6.com dari fakta persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Senin 15 Agustus 2016.
1. Cerdas
Ratih mengakui bahwa Jessica memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. "Yang bersangkutan (Jessica) sangat cerdas. Ia mampu secara tegas dan cepat menjawab apa pun yang diberikan secara kritis, dan jawabannya benar," ujar Ratih.
Tak hanya cerdas, kata Ratih, Jessica tergambar sebagai pribadi percaya diri. Jessica paham betul siapa dirinya dan bagaimana cara membawa diri dalam kondisi tertentu, seperti saat Jessica diinterogasi sebagai tersangka pembunuhan Mirna.
"Ketenangan dan kepercayaan diri itu tampak sekali, karena pada umumnya (seorang tersangka pembunuh) akan menampakkan kegugupan. Jawaban diberikan sangat lugas. Ia cerdas, percaya diri, tenang, sehat secara mental, dan daya nalarnya jernih. Itu adalah kesimpulannya pada saat itu," ungkap dia.
Ratih mengacungi jempol kepada Jessica atas respons kalem dan tenang Jessica tersebut. "Bagaimana dia menampilkan dirinya justru sangat luar biasa tenang dan itu mengagumkan. Di bawah kondisi stres, dia tampak sangat tenang," beber Ratih.
Akan tetapi, kecerdasan dan kesempurnaan jawaban Jessica terhadap tim psikolog, oleh Ratih, justru menjadi sebuah pertanyaan besar. Pasalnya, jika orang pada umumnya berada di posisi yang sama dengan Jessica, orang tersebut sesekali pasti akan mengeluarkan gerak-gerik atau tutur kata yang mendeskripsikan kegelisahannya.
"Biasanya orang di bawah tekanan besar dan di kantor polisi akan ada kegelisahan, tidak tenang. Tapi yang bersangkutan (Jessica) sangat tenang. Ini menjadi tidak biasa," tegas Ratih.
Ratih menambahkan, karakter orang seperti Jessica adalah orang yang mampu memodifikasi perilakunya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang ingin dibangunnya. Untuk dapat mewujudkan perilaku ini, ujar Ratih, membutuhkan tingkat inteligensi yang tinggi.
"Seseorang dengan kapasitas tertentu memiliki daya untuk memodifikasi perilaku dan membangun kondisi-kondisi yang ingin dikondisikan. Butuh kapasitas yang dibutuhkan, salah satunya inteligensi. Ketajaman untuk beranalisis dan memprediksi dari perilaku-perilaku yang dikondisikannya," ucap dia.
Pada sidang sebelumnya, ahli toksikologi dari Mabes Polri Kombes Nursamran Subandi menilai pelaku pembunuh Mirna adalah orang yang cukup pintar dan tahu betul pola kerja sianida. Hal ini karena pencampuran sianida ke dalam larutan air dingin, bukan dengan air panas yang dapat melepas senyawa racun sianida.
"Jadi pelaku ini cukup smart, Yang Mulia. Pelaku ini pintar," ungkap Nursamran.
Walaupun Jessica cepat dan cerdas dalam menjawab pertanyaan, kata Ratih, ketika ditanya-tanyai seputar kehidupan pribadi, hubungan-hubungan intim, dan kisah asmara, tim psikolog sama sekali tidak dapat menggali informasi apa pun.
"Dari jawaban yang ditampilkan, ada hal-hal yang tidak bisa kami lanjutkan, terutama tentang permasalahan hubungan, masa lalu, emosi lebih dalam itu tidak mampu tergali," Antonia menjelaskan.
Jessica didakwa membunuh Mirna dengan motif sakit hati karena Mirna memberikan komentar pedas soal hubungan percintaan Jessica dengan mantan kekasihnya di Sydney, Australia. Hal itu dibeberkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di sidang pertama kasus pembunuhan Mirna, Rabu, 15 Juni 2016.
"Ada hal-hal yang tidak bisa kami gali, terutama tentang permasalahan hubungan, masa lalu, emosi lebih dalam, itu tidak mampu tergali. Ini jadi pertanyaan besar. Dan ini kami share ke tim lanjutan yang memeriksa lebih lanjut," ucap Ratih.
Secara kasat mata, dilansir ahli psikolog klinis Ratih, hal ini termasuk dalam kategori wajar. Namun, ketika proses interogasi dilakukan selama 6 jam dan sudah diupayakan dengan pertanyaan sejenis yang diulang-ulang tapi tak kunjung dijawab, hal ini perlu menjadi pertanyaan besar.
"Secara kasatmata, ini hal biasa. Tetapi ketika ini diupayakan selama 6 jam dan tidak muncul sedikit pun, tentang kehangatan relasi, hubungan signifikan dengan orang terdekat, dan tidak tertampil. Ini jadi pertanyaan besar," imbuh dia.
Ketika dalam kondisi underpressure pun, kata Ratih, semestinya Jessica walau cuma sesekali, memunculkan ekspresi ketegangan maupun rasa tidak tenangnya.
"Biasa orang di bawah tekanan besar, setenang-tenangnya orang akan ada kegelisahan, akan ada indikasi ketidaktenangan. Tapi yang bersangkutan sangat tenang dan ini juga jadi tidak biasa," sahutnya.
Berubah 180 Derajat
3. Berubah 180 Derajat
Menyambung pernyataannya terkait bungkamnya Jessica saat ditanyai relasi intimnya, Ratih juga mengungkapkan pengalaman dirinya melihat langsung reaksi Jessica Wongso yang berubah 180 derajat.
Kala itu, Ratih memposisikan diri sebagai asisten Prof Ronny Rahman Nitibaskara, Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia. Ketika Prof Ronny mengajukan pertanyaan, Jessica terlihat kalem dan responsif. Namun, saat Ratih memberikan kejutan dengan pertanyaan tambahan kepada Jessica, putri dari Imelda dan Gunardi Wongso ini menampilkan ekspresi penolakan. Dari ekspresi tenang dan kooperatif menjadi ketus dan tidak sekooperatif biasanya.
"Pada saat pemeriksaan, saya menempatkan diri sebagai asisten. Tentu dia akan sangat responsif dan antisipatif ke Prof Roni. Pertanyaan dari saya sifatnya umum. Sebenarnya pemeriksaan dari saya belum selesai, dan di sini ekspresi Jessica berubah 180 derajat. Yang tadinya ramah, tadi cukup kooperatif langsung tampak berubah dingin dan ketus, dan bahasa tubuh yang kakinya ke arah saya masih terbuka sekarang tertutup. Ini gestur yang mengisyaratkan menolak," jelas Ratih.
Dari hasil pemeriksaan tersebutlah, Ratih berani menyimpulkan bahwa Jessica adalah pribadi yang lihai untuk memprediksi situasi tertentu. Akan tetapi, dalam hal-hal yang tidak terantisipasi dengan baik olehnya, ekspresi dingin dan ketus Jessica baru akan keluar.
"Saya menyimpulkan Jessica akan mampu tampil sangat tenang, menguasai diri, kalem, bahkan tampak dingin jika dia berada dalam situasi yang predictable, yang sudah mampu diantisipasi oleh dia. Di luar itu, emosinya akan tersulut," ujar Ratih.
4. Psikopat atau Kepribadian Ganda?
Satu kejanggalan lain yang diungkap Ratih ialah langkah Jessica Kumala Wongso untuk tur keliling media setelah tewasnya Mirna. Selain tur media, Jessica bahkan tak menampilkan wajahnya di pemakaman sahabatnya tersebut.
Itu adalah tindakan yang tidak lazim, tidak biasa, tidak umum. Kalau mau pakai bahasa yang lebih kuat, itu adalah sifat yang aneh," kata Ratih ketika bersaksi untuk Jessica Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin, 15 Agustus 2016.
Dikaji dari ilmu psikologis, ujar Ratih, tingkah tersebut menjadi aneh dan tak lazim sebab di kondisi tertekan seperti itu, rasa trauma semestinya muncul.
"Bahwa kemudian terjadi di sebelah Jessica, itu alasan dan catatan kenapa trauma itu jadi keluar. Ketika teman meninggal karena hidangan yang kita pesankan, kemudian dia konsumsi, dan ia meninggal, efek traumanya akan lebih besar," sambung Ratih.
Namun sikap Jessica berlawanan dengan teori perilaku manusia yang diyakini Ratih. Saat diperiksa polisi Januari lalu, Jessica menebar senyum, melambaikan tangan dan menyatakan dirinya tidak pernah meracuni Mirna kepada jurnalis.
"Mestinya ada rasa bersalah dan takut. Bukan takut diburu, tapi rasa bersalah 'Jangan-jangan gara-gara saya, teman saya kena musibah', maka mestinya ia tampil dengan berduka, sedih, gestur yang lebih empati kepada keluarga, teman, dan ini sejauh yang saya amati itu tidak muncul," imbuh Ratih.
Ratih menyebut naluri empati Jessica tidak berkembang dengan baik karena malah eksis di media. "Ini menjadikan indikasi bahwa gaya empati yang bersangkutan tidak berkembang secara baik," jelas Ratih.
Seiringan dengan pernyataan Ratih, penonton sidang termasuk Ketua Majelis Hakim Kisworo mencoba mengaitkannya dengan isu-isu yang baru belakangan ini beredar, yaitu seputar kemungkinan Jessica mengidap kelainan jiwa seperti psikopat atau kepribadian ganda.
"Untuk mengenali psikopat, seseorang yang daya empatinya nol, tidak berkembang secara sehat dan baik," kata Ratih.
"Selain daya empati tidak berkembang, hati nurani tidak berkembang. Nilai salah benar baik buruk tidak sesuai seperti orang pada umumnya," sambung dia.
"Apakah terdakwa ada potensi berkepribadian ganda?" tanya Kisworo.
Menurut Ratih, Jessica masih tergolong sehat, baik dari segi jasmani maupun psikologi. Ia menambahkan, titel psikopat atau kepribadian ganda belum bisa ia berikan kepada Jessica karena nihilnya indikasi yang merujuk ke sana.
"Dia tidak menampilkan indikasi berkepribadian ganda. Saya tidak menemukan adanya kemungkinan yang bersangkutan (Jessica) dirujuk menjadi psikopat. Bahwa ada perilaku menuju ke sana, perlu pendalaman lebih lanjut," pungkas Ratih.
5. Kepribadian Jenis Amorous Narcissistic
Berdasarkan hasil pemeriksaan, tim psikolog termasuk Ratih di dalamnya, mendiagnosis Jessica Wongso memiliki karakter amorous narcissistic.
"Amorous narcissistic adalah kategori kepribadian narcissistic di mana mereka sering kali menggunakan kebohongan yang rumit untuk beralih dari pembicaraan yang satu ke yang lainnya," papar Ratih di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/8/2016).
Tegas Ratih, diagnosis itu muncul saat pemeriksaan Jessica selama enam jam oleh tim psikolog. Saat pemeriksaan, tim psikolog sempat menemukan beberapa jawaban Jessica yang tidak sinkron dengan pernyataan sebelumnya.
"Narcissistic dan disability-nya menonjol. Dari hasil ngobrol selama enam jam dan tambahan ngobrol informal, ada hal-hal yang ditemukan tidak sinkron. Ketika dibilang dia orangnya pemaaf, dalam pertanyaan berikutnya itu bisa berbeda," tandas Ratih.
Ratih juga mengaku, saat pemeriksaan tim kesulitan menggali informasi-informasi yang bersifat intim dari Jessica, baik mengenai hubungan keluarga, pertemuan, ataupun percintaan.
"Ketika masuk dalam pola relasi, jawaban yang bersangkutan (Jessica Wongso) itu sifatnya yang sangat common. Jadi nggak bisa masuk sampai detail ke dalam. Jadi kami menyimpulkan, jika masuk ke topik intimacy dengan orang lain terutama hubungan intim antarpasangan, itu sifatnya dangkal," Ratih melanjutkan.
Dari tanya jawab dan observasi, tim psikolog menyimpulkan bahwa Jessica Wongso tergolong dalam kategori amorous narcissistic.
"Ketika informasi-informasi yang diberikan masuk ke sifat dangkal, diagnosa awal masuknya ke amorous narcissistic," tegas Ratih.
Adapun tipe kepribadian narcissistic adalah mereka yang memiliki dorongan untuk menjadi pusat perhatian, melalui pujaan di lingkungan sekitar. Adanya admirasi, pemujaan, penerimaan, kekaguman, menjadi kebutuhan orang dengan kepribadian narsistik. Sedangkan amorous narcissistic adalah salah satu jenis dari kepribadian narcissistic.
"Narcissistic character di sini berkaitan dengan bagaimana dia butuh keberadaannya diakui dengan achievement dia, prestasi, pencapaian-pencapaian yang dimiliki," jelas Ratih. (Winda Prisilia)
Advertisement