Liputan6.com, Jakarta - Setidaknya ada dua nama yang disebut-sebut terlibat kasus dugaan suap pengajuan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka adalah Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrachman dan Chairman PT Paramount Enterprise Internasional sekaligus eks Presiden Direktur Lippo Group Eddy Sindoro.
Kedua orang itu diduga terlibat kasus ini lantaran nama mereka juga sudah tertera di daftar cegah Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Belakangan diketahui, Eddy sudah berada di luar negeri sebelum pencegahan dikirim KPK kepada Ditjen Imigrasi.
Tak disangka, Nurhadi dan Eddy rupanya kawan lama. Nurhadi mengaku sudah mengenal Eddy sejak 1975, saat keduanya masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Ketika itu, Nurhadi bersekolah di Kudus, sementara Eddy yang lebih tua setahun menempuh pendidikan di Semarang, Jawa Tengah.
"Saya SMU beda satu kelas, lebih tua Pak Eddy. Saya di Kudus, pak Eddy di Semarang. Ketemunya di tempat makan khas di Semarang," ujar Nurhadi saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, beberapa Senin, 15 Agustus 2016.
Singkat cerita, pertemuan-pertemuan terbaru keduanya terjadi pada 2015 dan 2016. Ada sejumlah pertemuan di antara mereka, selain juga saling berkomunikasi. Pertemuan itu terjadi di sejumlah tempat, di antaranya di rumah Nurhadi, kediaman Eddy, Rumah Sakit MRCCC Siloam Semanggi, dan kawasan Senayan.
Namun, Nurhadi membantah keras pertemuan membahas perkara-perkara yang dihadapi beberapa perusahaan di bawah naungan Lippo Group. Dia mengaku, pertemuan sebatas membahas agenda yang berkaitan acara keluarga.
"Ada beberapa (pertemuan). Ada yang di rumah saya atau beliau. Tapi, dalam konteks undangan acara pernikahan putri saya, akikah cucu saya, ulang tahun cucu saya. Saya terakhir ke kediaman Eddy untuk lamaran anaknya yang kedua, di daerah Lippo Karawaci," ujar Nurhadi.
"Kemudian pertemuan di Plaza Senayan, tidak lebih dari tiga kali. Makan bersama," sambung dia.
Kendati, Nurhadi tak menampik, Eddy mengeluhkan perkara PK yang diajukan perusahaan di bawah Lippo Group. Namun, dia membantah mengetahui detail perkara-perkara yang dimaksud. Menurut dia, perkara PK yang diajukan ke MA didaftarkan melalui pengadilan.
"Pak Eddy mengeluh kenapa perkara-perkara di PN Jakarta Pusat tidak dikirim-kirim. Pengajuan PK sendiri dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi saya tidak tahu detail. Karena itu bisa dikirim atau tidak," ujar dia.
Nurhadi diduga terlibat dalam pengurusan sejumlah perkara yang melibatkan beberapa perusahaan di bawah naungan Lippo Group. Hal tersebut terungkap dalam persidangan-persidangan sebelumnya, terkait kasus dugaan suap pengajuan PK di PN Jakarta Pusat ini.
Pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti yang sebelumnya menjadi saksi untuk terdakwa Doddy, juga mengungkapkan keterlibatan Nurhadi yang disebutnya sebagai 'promotor'.
Saat itu, jaksa menunjukkan barang bukti berupa dokumen berisi tabel penjelasan masing-masing perkara hukum, yang dihadapi perusahaan di bawah Lippo Group. Dokumen dalam bentuk memo itu juga berisi target penyelesaian kasus.
Jaksa kemudian membeberkan keterangan Hesti pada sidang sebelumnya yang mengatakan, terdapat 12 memo serupa yang ditujukan kepada 'promotor'. Tetapi, Nurhadi membantah keras sebutan promotor tersebut. Dia membantah menjadi promotor untuk penanganan perkara-perkara yang berkaitan dengan Lippo Group.
Menurut Nurhadi, kata promotor itu merupakan fitnah luar biasa untuk dirinya. Bahkan, dia mengaku namanya sering dicatut dan dijual oleh pihak-pihak tertentu.
"Itu tegas bahwa saya tidak mengerti kenapa nama saya bisa diganti-ganti begitu. Terlalu sering nama saya dicatut dan dijual. Tapi saya tidak pernah ada sebutan promotor atau yang lain. Nama saya dari dulu Nurhadi, tidak ada yang lain," tegas dia.
"Itu kepada siapa, promotor? Saya merasa bahwa saya sudah dikondisikan dan difitnah luar biasa," sambung Nurhadi.
Dicegah
Dalam kasus dugaan suap pengajuan PK di PN Jakarta Pusat ini, Nurhadi Abdurrachman sudah dicegah ke luar negeri bersama dua orang lainnya, yakni Royani yang disebut-sebut sebagai sopir sekaligus ajudannya dan Chairman PT Paramount Enterprise International sekaligus eks Presiden Direktur Lippo Group, Eddy Sindoro.
Pencegahan tersebut dilakukan karena ditengarai kuat eks Sekretaris MA itu dan Eddy serta Royani terlibat dalam kasus dugaan suap ini.
Adapun satu dari dua tersangka kasus ini, yakni Direktur PT Kreasi Dunia Keluarga Doddy Aryanto Supeno, kini sudah menjalani sidang di Pengadilan Tipikor sebagai terdakwa. Sementara tersangka lainnya, Panitera/Sekretaris PN Jakpus Edy Nasution masih menjalani pemeriksaan di KPK untuk perlengkapan berkas.
Doddy didakwa jaksa memberi suap Rp 150 juta kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Uang suap tersebut diberikan agar Edy menunda proses aanmaning atau peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP), dan menerima pendaftaran PK PT Across Asia Limited (AAL). Padahal, waktu pengajuan PK tersebut telah melewati batas yang ditetapkan undang-undang.
Atas perbuatannya, jaksa mendakwa Doddy telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 65 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dalam kasus suap ini, Doddy yang juga Direktur PT Kreasi Dunia Keluarga itu didakwa menyuap secara bersama-sama dengan pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Internasional Ervan Adi Nugroho, dan Chairman PT Paramount Enterprise Internasional sekaligus eks Presiden Komisaris Lippo Group Eddy Sindoro.
Advertisement