Sukses

BNN Ungkap Aliran Dana Narkotika Rp 3,6 Triliun

Pony Tjandra merupakan narapidana dengan vonis hukuman seumur hidup karena kasus kepemilikan ekstasi sebanyak 57 ribu butir pada 2014 lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan laporan transaksi senilai Rp 3,6 triliun yang bersumber dari hasil kejahatan narkotika yang dilakukan sepanjang 2014-2015.

Deputi Pemberantasan Narkotika Badan Narkotika Nasional (BNN) Irjen Arman Depari menyatakan, dari dana Rp 3,6 triliun itu, Rp 2,8 triliun di antaranya bersumber dari sindikat narkotika besar yang dikomandoi oleh Pony Tjandra.

Pony merupakan narapidana dengan vonis hukuman seumur hidup, karena kasus kepemilikan ekstasi sebanyak 57 ribu butir pada 2014. Kini dia tengah mendekam di Lapas Cipinang, Jakarta Timur.

"Kita menerima hasil analisis PPATK dengan nilai sekitar Rp 3,6 triliun. Transaksi mulai berjalan 2014-2015. Setelah dilakukan penyelidikan dan penelisikan dari rekening yang bersangkutan (Pony Tjandra), Rp 2,8 triliun memang benar dari hasil kejahatan narkotika sindikatnya," tutur Arman di Gedung BNN, Jalan MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur, Jumat (19/8/2016).

Arman melanjutkan, sisa harta TPPU lainnya sebesar Rp 0.8 triliun atau Rp 800 miliar, masih terus ditelusuri oleh BNN. Dia pun menjelaskan, aliran dana tersebut ternyata juga dikirim ke sejumlah bank atau perusahaan di luar negeri.

"Uang ini dikirim dan dicuci ke 32 bank atau perusahaan yang berada di luar negeri. Di antaranya ada yang masih di Asia dan ada juga di Eropa," beber dia.

Arman menyebut, bagian dari Rp 3,6 triliun lainnya juga hingga saat ini masih beredar di dalam negeri. Fungsi dana itu adalah untuk melakukan berbagai macam modus pencucian uang. Seperti membuat pabrik yang tidak aktif, ekspor-impor fiktif, serta penukaran uang (money changer).

Dia mengakui bahwa pihaknya cukup kesulitan mengendus dana yang telah disimpan di luar negeri. Sebab, mereka harus menyentuh hubungan bilateral antara Indonesia dan negara bersangkutan.

"Upaya hukum dengan negara terkait selalu jadi hambatan karena banyak negara yang tidak mau kooperatif. Karena takut terganggu keamanan nasionalnya," pungkas Arman.