Liputan6.com, Jakarta Industri hasil tembakau (IHT) sudah membuktikan kekuatannya. Saat di zaman Kolonial dan terjadi krisis global pada 1930an, industri rokok kala itu yang masih didominasi pabrik rokok asing, tak goyah.
Bahkan, saat Indonesia kembali dilanda krisis hebat pada 1998, IHT juga masih menunjukkan kedigdayaannya. IHT tidak juga kalah. Justru banyak usaha bermodal multijuta dollar rontok. Industri keuangan runtuh. Dan Presiden Soeharto harus kehilangan kursi kekuasaannya.
Baca Juga
Demikian juga di era refomasi. IHT juga masih menjadi penopang terkuat struktur ekonomi Indonesia. Industri ini, tak kurang menyerap 6 juta tenaga kerja langsung dan 15 jutaan tenaga kerja dari efek domino industri termbakau.
Advertisement
Tidak hanya itu, dari sisi fiskal, sumbangan IHT tak pernah surut. Dari tahun ke tahun rasio cukai hasil tembakau (CHT) terhadap penerimaan pajak terus meningkat. Pada 2010, misalnya. Ketika itu, pemerintah menargetkan CHT sebesar Rp 55,86 triliun. Namun, IHT mampu setor cukai Rp 63,29 triliun.
Di tahun yang sama, target pajak mencapai Rp 743,32 triliun. Namun target itu hanya tercapai Rp 723,3 triliun.
Melihat tabel di atas, jelas terbaca bahwa realisasi cukai selalu melebihi target. Seiring dengan itu, rasio realisasi cukai atas pendapatan pajak juga selalu naik. Rerata selama kurun waktu 2010-2014, maka, rasio cukainya menjadi sekitar 9.01 %.
Untuk tahun 2015, sebagaimana dicantumkan di APBNP, CHT ditarget mampu setor sebesar Rp 139,11 triliun. Realisasinya, cukai memperoleh 139,5 triliun atau sekitar 100,3% di atas target. Sementara, target pajak mencapai Rp 1.235,8 dengan realisasi sebesar Rp 1.055 triliun. Dengan demikian, rasio penerimaan CHT 2015 dibanding penerimaan pajak 2015, mencapai 14% lebih.
Sekarang, mari kita bayangkan bila negara benar-benar menghapus industri rokok. Contoh kecil, gaji pegawai negeri bisa turun 10 persen dan tentu akan memancing efek domino lainnya.
Â
(Adv)