Liputan6.com, Yogyakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy membuka Muktamar Nasyiatul Aisyiah (NA) XIII di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Muhadjir menyebutkan peran penting perempuan dalam pembangunan.
Menurut Muhadjir, saat ini keunggulan bukan lagi didominasi laki-laki, karena perempuan juga menjadi aktor perubahan sejarah. Pemerintah terus mencari terobosan dalam pembangunan, khususnya pendidikan.
Baca Juga
Muhadjir optimistis Indonesia mampu menghadapi persaingan dan perubahan zaman. Sebab satu di antara faktornya adalah 80 persen anggota NA adalah insan terdidik.
Advertisement
"Pepatah Arab mengatakan, ibu adalah madrasah atau sekolah pertama. Imam Syafii mengatakan perempuan adalah tiang negara. Ada tiga kata kunci yang menentukan strategis perubahan, yaitu ibu, sekolah atau pendidikan, dan negara," ujar dia saat memberi sambutan, Jumat (26/8/2016).
Muhadjir mengatakan, gerakan NA dapat memberikan perubahan besar dalam dunia pendidikan, karena memiliki kesempatan mengelola pendidikan terhadap anak-anak.
Muhadjir](2572984 "")Â berpesan kepada Aisyiah, untuk terus berperan dalam pendidikan usia dini dan dasar. Sebab menurutnya dari sinilah pendidikan karakter anak akan dibentuk dengan nilai keluhuran.
"Jadi penentu pendidikan dalam sebuah keluarga. Pendidikan keluarga menjadi kunci dalam pendidikan bangsa. Pak Presiden berpesan agar pendidikan berkualitas harus terus dijaga. Pendidikan harus mencerahkan dan tidak membebani siswa agar dapat merangsang aktualisasi diri siswa," papar Muhadjir.
Dua Kekuatan
Ketua Umum PP Muhamadiyah Haedar Nasir menceritakan saat dirinya bertemu Presiden Joko Widodo. Saat itu, Jokowi menyampaikan tentang perkembangan Muhammadiyah dan Aisyiah dalam perkembangan zaman.
"Waktu itu Pak Presiden bilang kepada saya, 'Saya percaya Muhammadiyah kuat dalam dua hal, yaitu pendidikan dan kesehatan'," ujar Haedar mengutip pesan Jokowi.
Haedar juga menyoroti tema perhelatan akbar NA tahun ini, yakni perempuan muda berkemajuan untuk kemandirian bangsa. Menurut dia, tema ini sangat bagus dan cerdas dalam pembangunan generasi selanjutnya.
Haedar juga menceritakan bagaimana awal mula Aisyiah terbentuk menjadi pondasi, dalam pembangunan karakter generasi muda, khususnya perempuan.
"Selamat bermuktamar, semoga dapat berjalan demokratis produktif dan bermartabat. Khusus Nasyiatul Aisyiah, sejarah detailnya awalnya lahir dari sekolah yang disebut dengan standar Muhammadiyah di Kauman, dari seorang guru Soemodirjo di luar sekolah, yang menilai perlu ada perhatian kepada putra dan putri yang terdidik akhlaknya dan memperdalam ilmunya," pungkas Haedar.
Kisah Aisyiyah
Gagasan mendirikan NA bermula dari ide Somodirdjo, seorang guru Standart School Muhammadiyah. Dalam usahanya memajukan Muhammadiyah, ia menekankan perjuangan Muhammadiyah akan terdorong dengan peningkatan mutu ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada muridnya, baik dalam bidang spiritual, intelektual, maupun jasmaninya.
Gagasan Somodirdjo ini digulirkan dalam bentuk menambah pelajaran praktik kepada para muridnya, dan diwadahi dalam kegiatan bersama. Dengan bantuan Hadjid atau seorang kepala guru agama di Standart School Muhammadiyah, pada 1919 Somodirdjo berhasil mendirikan perkumpulan yang anggotanya terdiri dari para remaja putra-putri siswa Standard School Muhammadiyah.
Perkumpulan tersebut kemudian diberi nama Siswa Praja (SP). Tujuan dibentuknya Siswa Praja adalah menanamkan rasa persatuan, memperbaiki akhlak, dan memperdalam agama.
Pada awalnya, SP mempunyai ranting-ranting di sekolah Muhammadiyah yang ada, yaitu di Suronatan, Karangkajen, Bausasran, dan Kotagede. Setelah lima bulan berjalan, diadakan pemisahan antara anggota laki-laki dan perempuan dalam SP.
Kegiatan SP Wanita dipusatkan di rumah Haji Irsyad --kini Musala Aisyiyah Kauman. Kegiatan SP Wanita seperti pengajian, berpidato, jamaah subuh, membunyikan kentongan membangunkan umat Islam Kauman salat subuh, mengadakan peringatan hari-hari besar Islam, dan kegiatan keputrian.
Pada 1923, SP Wanita mulai diintegrasikan menjadi urusan Aisyiyah. Perkembangan selanjutnya, yaitu pada 1924, SP Wanita mampu mendirikan Bustanul Athfal, yakni gerakan membina anak laki-laki dan perempuan yang berumur 4-5 tahun.
Pada 1929, Kongres ke-18 Muhammadiyah memutuskan semua cabang Muhammadiyah diharuskan mendirikan SP Wanita, dengan sebutan Aisyiyah Urusan Siswa Praja.
Pada 1931 dalam Kongres ke-20 Muhammadiyah di Yogyakarta diputuskan semua nama gerakan Muhammadiyah, harus memakai bahasa Arab atau bahasa Indonesia. Karena cabang-cabang Muhammadiyah di luar Jawa sudah banyak berdiri, kurang lebih 400 cabang.
Dengan adanya keputusan tersebut, maka nama Siswa Praja Wanita diganti menjadi Nasyiatul Aisyiyah (NA) yang masih di bawah koordinasi Aisyiyah.