Sukses

KPK Tancap Gas Selesaikan Kasus IPDN Sumbar

Penyidik KPK akan mengorek keterangan keempatnya untuk tersangka Dudy Jocom.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tancap gas mengusut kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kabupaten‎ Agam, Sumatera Barat pada 2011. KPK memeriksa empat orang sebagai saksi hari ini.

Keempatnya yakni, Yulianti yang merupakan Direktur PT Yulian Berkah, staf PT Hutama Karya (HK) Supripto, serta dua orang swasta bernama Husain Redwin Nurlette dan Rahadi Wiyanto. "Ya empat saksi hari ini," ujar Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK, Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi, Jakarta, Senin (29/8/2016).

Menurut dia, keempatnya akan dikorek keterangannya untuk tersangka Dudy Jocom. "Ya, mereka jadi saksi buat tersangka DJ," ujar Yuyuk.

KPK, dalam kasus ini, sudah memeriksa puluhan saksi. Bahkan KPK pernah memeriksa 42 saksi di Kampus IPDN, Baso, Kabupaten Agam, secara maraton pada 17 Maret-23 Maret 2016.

Pemeriksaan 42 saksi itu dilakukan KPK sebagai langkah efektivitas dan efisiensi. Sebab, semua saksi tinggal di Sumbar, sehingga akan memakan waktu dan tenaga jika semuanya dipanggil ke Jakarta.

Selain itu, KPK pernah memeriksa dua pejabat tinggi perusahaan pelat merah, PT Hutama Karya, yakni Muhammad Fauzan selaku Direktur dan Remon Debal sebagai Deputi Project Manager Divisi Gedung pada 2011.

Pada kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung Kampus IPDN di Kabupaten Agam, Sumatera Barat ini, KPK telah menetapkan dua orang sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Dudy Jocom dan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya, Budi Rachmat Kurniawan.

Keduanya diduga menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain dalam proyek pembangunan Gedung Kampus IPDN Kabupaten Agam yang diresmikan Mendagri era Gamawan Fauzi pada 2013 silam tersebut. Akibat perbuatan keduanya, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp 34 miliar dari total nilai proyek Rp 125 miliar.

Keduanya, disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 huruf a atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.