Sukses

Benarkah, Cukai Ditunggu Namun Industri Tembakau Dibelenggu?

Bisa jadi komoditas tembakau dengan industri hasil tembakau banyak dikepung aturan. Cukai hasil tembakau ditunggu,namun industri dibelenggu.

Liputan6.com, Jakarta Bisa jadi komoditas tembakau dengan industri hasil tembakaunya paling banyak dikepung aturan. Cukai hasil tembakau ditunggu, namun industri tembakau juga dibelenggu.

Setidaknya ada empat undang-undang yang mengatur industri hasil tembakau (IHT) (lihat tabel). Kalau dicermati lebih dalam, tak satupun dari undang-undang tersebut yang memberikan kelonggaran, apalagi memberikan peluang bagi IHT untuk bertumbuh dan berkembang. Kesemua undang-undang itu adalah borgol agar IHT tingkah polah IHT sejalan dengan kepentingan internasional.

Ruang gerak bagi IHT yang tercermin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan pun tak sepi dari kritik maupun kecaman. Padahal, seandainya RUU itu jadi undang-undang dan kemudian diundangkan, setidaknya ada ruang gerak yang memadai bagi petani tembakau kita.

Demikian juga dengan RUU Kebudayaan. Begitu muncul usulan, rokok kretek sebagai produk budaya, RUU inipun riuh rendah oleh kritik, terutama datang dari kaum antitembakau, yang belakangan ini begitu kritis terhadat IHT setelah Bill Gates, pendiri Microsoft dan orang paling tajir sejagad, menggelontorkan jutaan dollar untuk menyerang industri tembakau nasional.

Regulasi Pengatur Industri Hasil Tembakau 

  1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai

  2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

  4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Penyiaran

  5. Peraturan Pemerintah No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

  6. Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/2013 tentang Peringatan dan Informasi pada Kemasan Produk Tembakau

  7. Peraturan Menteri Kesehatan No. 40/2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan

  8. Peraturan Menteri Keuangan No.179/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau

  9. Peraturan Menteri Keuangan No. 131/2013 tentang Hubungan Keterikatan

10. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan No. 41/2013 tentang Pengawasan Produk Tembakau yang Beredar, Pencantuman Peringatan Kesehatan dalam Iklan Kemasan dan Produk Tembakau, dan Promosi

Sejatinya, operator terpenting dari gerakan antitembakau ini adalah Kementerian Kesehatan. Bahkan, kementerian ini tak segan beriklan di televisi tentang bahaya merokok. Iklan ini patut dicurigai sabagai titipan. Sebagai kementerian yang bertanggungjawab atas masalah kesehatan di Tanah Air, iklan larangan merokok bisa diterjemahkan bahwa kementerian ini hanya concern pada urusan merokok.

Padahal, masalah kesehatan sungguh bejibun. Mulai soal sanitasi, makanan berformalin, junkfood, minuman beralkohol, penyakit-penyakit tropis, bahkan masalah fasilitas kesehatan di daerah terpencil pun seolah-olah belum masuk dalam program yang penting.

UU Kesehatan

Publik mencatat, pasca diundangkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, secara beruntun, muncul aneka peraturan-peraturan turunan yang semakinmerestriksi tembakau di Indonesia. Muara dari peraturan itu adalah pasal 113 sampai pasal 116 dan Pasal 199. Intisari dari ketiga pasal itu adalah produk tembakau merupakan zat adiktif, yakni zat yang membuat orang kecanduan.

Klausul adiktif itulah yang kemudian berbiak menjadi sejumlah kontroversi. Itu tampak, sejak diundangkan UU 36/2009 ini paling sering masuk peradilan pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi. Sebagian besar pasal yang diuji itu lebih banyak terkait dengan soal tembakau atau lebih spesifik lagi soal rokok.

Beleid 36/2009 bak tsunami bagi IHT. Karena sejak penerapan pasal bahwa rokok merupakan zat adiktif, sejumlah gelombang peraturan pun muncul.

Dimulai dengan munculnya PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP yang berisi 65 pasal itu, memberikan definisi terkait bahaya zat adiktif yang terkandung dalam produk tembakau dan upaya pemerintah untuk melakukan pengaturan terhadapnya.

Tak hanya itu, ada tiga poin yang kemudian sangat memberatkan industri hasil tembakau. Pertama, kewajiban mencantumkan peringatan kesehatan. Pasal 14 ayat 1 PP 109/2012 menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.

Kedua, PP 109/2012 yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu juga membatasi iklan di media media cetak, media penyiaran, dan teknologi informasi. Ketentuan larangan menyiarkan dan menggambarkan produk tembakau ini dimaksudkan antara lain dalam film, sinetron, dan acara televisi lainnya kecuali liputan berita.

Dengan sigap, Kementerian Kesehatan kemudian mengeluarkan Permenkes 28/2013. Permenkes ini memuat syarat-syarat pencantuman peringatan dan informasi kesehatan, jenis dan warna gambar, cara penulisan, serta letak penempatan.

Tak cukup satu Permenkes. Dalam rentang waktu yang tak terlalu lama, Menteri Kesehatan juga mengeluarkan Permenkes 40/2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan. Peta jalan atau roadmap ini oleh Kemenkes dijadikan acuan dalam penyusunan dan pengembangan program dan kegiatan pengendalian dampak konsumsi rokok.

Dalam Permenkes 40/2013, ada tiga kebijakan yang hendak dicapai. Pertama, periode antara 2009–2014, Kemenkes berikhtiar mendorong sejumlah regulasi, utamanya adalah mendorong pemerintah segera mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control.

Kedua, tahun 2015-2019 dilaksanakannya berbagai kebijakan publik dan produk perundangan disertai penerapan sanksi. Ketiga, 2020 – 2024, keberlanjutan kebijakan.

Hal lain yang kemudian muncul adalah banyaknya Peraturan Daerah (Perda) seperti kawasan tanpa rokok yang melampuai kewenangan. Saat ini, ada sekitar 170 Perda kawasan tanpa rokok. Antar satu daerah dengan daerah lain aturannya identik, seolah ada konseptor tunggal yang menelurkan perda-perda tersebut. Lihat saja, antara satu perda dengan perda lainnya, isinya, mulai dari pertimbangan sampai isi, urutan pasal dan redaksionalnya mirip.

Tetapi, yang paling parah tentunya peraturan yang justru melampaui kewenangan. Sebagai umpama, Peraturan Gubernur DKI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Rokok dan Produk Tembakau pada Media Luar Ruang yang diberlakukan mulai 13 Januari 2015.

Dalam pasal 2 dari Pergub itu melarang reklame dan produk tembakau di seluruh wilayah di provinsi DKI Jakarta. Padahal, jika mengacu pada PP 109/2012, iklan produk tembakau itu dikendalikan, bukan dilarang.

 

(Adv)