Sukses

Ahli Psikologi Malas Debat dengan Pengacara Jessica

Pengacara Jessica sempat mempertanyakan kesimpulan analisis yang dikemukakan ahli psikologi dari UI Profesor Doktor Sarlito Wirawan Sarwono

Liputan6.com, Jakarta - Penasihat hukum Jessica Kumala Wongso, Otto Hasibuan, mempertanyakan kesimpulan analisis yang dikemukakan ahli psikologi dari Universitas Indonesia (UI) Profesor Doktor Sarlito Wirawan Sarwono, tentang kemungkinan Jessica penabur sianida di es kopi Vietnam Wayan Mirna Salihin.

Dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP), Sarlito mengatakan kecil kemungkinan peracik es kopi Vietnam Rangga Dwi Saputra dan pengantar es kopi Vietnam Agus Triyono, memasukkan sianida ke dalam minuman Wayan Mirna Salihin. Sebab, keduanya sudah melakukan pekerjaan sesuai standar operasional dan prosedur (SOP).

"Ahli mengatakan, kemungkinan kecil Hanie yang memasukan sianida ke dalam Ice Vietnamnese Coffee Mirna karena Hanie datang bersama-sama Mirna. Lalu ahli mengatakan bahwa kecil kemungkinan barista Rangga yang melakukan karena pembuatan kopi sudah sesuai SOP dan di tempat terbuka," ucap Otto sambil membacakan analisis Sarlito atas kasus tewasnya Mirna dalam BAP, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 1 September 2016.

"Ahli juga mengatakan kemungkinan kecil Agus Tri yang memasukan (sianida), karena waktunya mengantar kopi tidak banyak. Lalu Jessica-lah yang paling kuat kemungkinannya untuk memasukkan karena Jessica bersama kopi itu dalam waktu 51 menit. Pertanyaannya, apa ahli tahu SOP di Olivier?" Otto menambahkan.

"Tahu, intinya orang tinggal buat kopi saja begitu. Dan tidak ada yang mencurigakan," jawab Sarlito.

Pengacara Jessica itu merasa keberatan karena ahli tidak mengerti tentang SOP pembuatan kopi di Olivier Cafe, tapi menuangkan kata tersebut dalam berita acara. Sarlito sepertinya menangkap maksud Otto dan menanggapinya dengan acuh, "Ya SOP itu istilah saja. Gitu saja. (SOP) Itu kesimpulan saya. Ya terserah."

2 dari 3 halaman

Banyak Gunakan Kata 'Lazim'

Adapun dalam persidangan ke-17 kasus kopi sianida, ahli kedua yang dipanggil Jaksa Penuntut Umum (JPU), Sarlito Wirawan Sarwono berulang kali menggunakan kata "lazim". Hal ini memancing penasihat hukum terdakwa Jessica Kumala Wongso, Otto Hasibuan untuk mempertanyakan tolak ukur analisis tersebut.

Setidaknya psikolog klinis dan sosial Universitas Indonesia ini mengatakan kata "lazim" pada tiga konteks yang ia amati melalui CCTV Kafe Olivier. Pertama, lazimnya seseorang yang harusnya berusaha membunuh waktu dengan bermain gadget, bukan menggerak-gerakkan tubuh secara berlebihan.

Kedua, paper bag dengan jumlah lebih dari satu yang lazimnya diletakkan di bawah meja atau kursi. Dan ketiga, lazimnya pelaku pembunuhan yang segera menghindar sesaat setelah melakukan aksinya.

Oleh karena tiga konteks lazim yang disebutkan Sarlito, Otto lalu bertanya, "Apakah dasar saudara untuk mengatakan kata 'lazim'?"

Sarlito langsung menjawab, "Dari pandangan umum, apa yang biasanya dilakukan oleh sebagian besar orang pada umumnya."

Psikolog yang juga merupakan guru besar di Universitas Indonesia ini bahkan memberikan analogi laki-laki menggunakan celana dan rok kepada Otto. "Saya kasih analogi, misalnya laki-laki kalau pakai celana itu kan lazim. Tapi kalau laki-laki pakai rok itu kan tidak lazim," Sarlito menjelaskan.

Kemudian Otto kembali ingin tahu, apakah Sarlito punya data statistik atau tolak ukur pasti dalam mengukur kata lazim tersebut. Sarlito menjawab bahwa hasil analisis itu murni kesimpulan dari dirinya yang diperoleh dari pengamatan secara umum.

"Tidak (menggunakan data statistik). Lazim itu standar enggak pakai statistik. Yang kita lihat itu (konteks) pada umumnya," jawab Sarlito.

"Karena emang itu tidak lazim karena saya baru pertama kali lihat kasus seperti ini," sebut Sarlito.

3 dari 3 halaman

Potensi Orientasi Sesama Jenis

Selain menghadirkan kriminolog, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada persidangan ke-17 kasus kopi maut sianida pada Kamis 1 September 2016, juga memanggil psikolog klinis dan sosial Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang pernah ditulis Sarlito, ia menyimpulkan adanya indikasi orientasi penyuka sesama jenis atau homoseksual dalam diri terdakwa Jessica Kumala Wongso.

Indikasi ini, Sarlito menuturkan, dibuat berdasarkan hasil tes psikologi yang dilakukan oleh dr Ririn Wowor. Pada tes tersebut, hanya pertanyaaan terkait kehidupan seks sajalah yang dihindari oleh Jessica.

"Hasil tes dari dokter Ririn Wowor soal kehidupan seks semua enggak dijawab (Jessica)," jawab psikolog yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi UI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 1 September 2016.

Kesimpulan ini juga diperoleh Sarlito dari penuturan Jessica terhadap tim psikolog yang dinilai kurang lazim. Jessica mengatakan bahwa ia tidak menyukai gaya berpacarannya dengan Patrick --sang mantan kekasih karena terlalu mengharuskan hubungan lewat telepon setiap harinya.

Padahal, baik Patrick maupun Jessica jarang berkomunikasi apalagi bertemu langsung karena kesibukan karier mereka masing-masing. "Ada kemungkinan orientasi penyuka sesama jenis atau homoseksual karena (Jessica) enggak suka gaya pacaran ditelepon dan kontak terus, dianggap semacam meneror," Sarlito menjelaskan.

Paparan Sarlito Wirawan

Masuk dalam kajian ilmiah, Sarlito memaparkan tidak ada perbedaan lain antara homoseksual dan heteroseksual selain pada jenis kelamin lawan jenis yang disukai.

"Semuanya sama. Cintanya sama, cemburunya sama, posesifnya sama. Yang beda kalau homoseksual suka sesama jenis, heteroseksual suka satu jenis," kata Sarlito.

Dari segi kuantitas penyandang orientasi sesama jenis di Indonesia, Sarlito yakin bahwa dengan minimnya jumlah orang berorientasi homoseksual tersebut, ketika mereka mengakhiri hubungannya akan terasa jauh lebih berat daripada pasangan normal pada umumnya.

"Heteroseks kan cepet kan di luar penggantinya banyak. Kalau komunitas homoseks itu kan terbatas. Makanya ketika kehilangan, mereka jauh lebih berat. Kalau orang putus heteroseks itu jauh lebih ringan," Sarlito membeberkan.

Jumlah pembunuhan yang didasari oleh motif cinta, menurut Sarlito, juga jauh lebih banyak ketimbang motif lain seperti masalah utang-piutang atau dendam. "Dalam kasus pembunuhan yang disebabkan oleh putus cinta, lebih tinggi daripada utang-piutang atau dendam," ujar dia.

Menurut Sarlito, saat orang putus cinta, mereka untuk melukai diri sendiri maupun orang lain lebih besar. "Kalau putus karena cinta itu bisa melukai diri sendiri atau bahkan membunuh orang lain," Sarlito melanjutkan penjelasannya.

Namun, indikasi ini tidak bisa berhenti sampai di sini saja. Sarlito berkata, untuk dapat memastikan indikasi ini harus dilakukan lagi verifikasi dan pemeriksaan lebih lanjut mengingat ia yang belum pernah mewawancara langsung Jessica dan pendekatan yang harus dilakukan pun berkaitan dengan urusan privasi yakni kehidupan seks.

"Harus diverifikasi. Mendalami ada apa dengan kehidupan seks di pasien itu harus ada pendalaman lebih lanjut," Sarlito melontarkan pendapatnya.

Ia juga tidak menutup kemungkinan dengan berhasilnya verifikasi indikasi homoseksual tersebut akan sekaligus menjadi motif utama di balik tewasnya Wayan Mirna Salihin.

"Kalau yang ini (indikasi orientasi homoseksual Jessica) sudah diverifikasi, setelah-setelahnya bisa saja (jadi motif). Cinta kepada cemburu lalu kemarahan. Ini yang disebut sebagai motif," Sarlito menandaskan. (Winda Prisilia)