Sukses

Cerita Veteran di Rawajati soal Apartemen dari Wagub Prijanto

Ilyas menyebut bahwa dia diberikan hak sementara tinggal di Apartemen Kalibata City karena kabakaran.

Liputan6.com, Jakarta Letnan Kolonel Purnawirawan Ilyas Karim, 89 tahun, warga RT 09/04, Jalan Rawajati Barat III, Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, yang terkena dampak penggusuran, angkat bicara soal hadiah apartemen yang diberikan Wakil Gubernur Prijanto, 2011 lalu.

Ilyas membantah dirinya mendapat hadiah satu unit apartemen di Kalibata City. Ilyas bercerita pada 2011 silam dia mengalami musibah kebakaran. Kejadian itu memaksanya untuk bermukim di tempat lain sampai rumahnya selesai direnovasi.

"Saya kebakaran 2011 rumah saya. Dibangun sama anak saya sampai kelar. Saya tidur di sini," Ilyas menuturkan seraya menunjuk emperan trotoar persis di samping Apartemen Kalibata City, Jumat (2/9/2016).

Selama rumah dibangun kembali, dia tidur bersama istrinya di sebuah tenda yang dibangun seadanya itu. Kejadian itu mendapat perhatian dari pihak pengelola Apartemen Kaibata City.

"Kata orang apartemen kok pejuang tidur di sini. Dibawalah saya ke dalam tidur," terang dia.

Ilyas menjelaskan, ada pihak manajemen yang kemudian memberikannya ruang tinggal. Tidak disebutkan apakah sifatnya sementara atau permanen.

"Dikasih numpang sama Pak Sofyan Nasution, manajer apartemen. Kasihan dia sama saya pejuang tidur di tenda," lanjut dia.

Dia pun mendapat kelegaan waktu selama tiga bulan untuk menempati satu unit kamar apartemen di sana. Waktu tersebut cukup dengan lama pembangunan ulang rumahnya, hingga akhirnya bisa kembali ditempati.

"Dikasihlah saya satu unit selama 3 bulan. Rumah saya selesai, saya balik lagi tinggal di sini," ungkap dia.

Ilyas menyampaikan, dia tinggal di kawasan tergusur Rawajati itu sejak 1982. Waktu itu lurah setempat memberikan dia izin tinggal di sana.

"Waktu zaman Pak Soeharto, ada 55 kolonel termasuk saya. Pak Soeharto ke sini minta kami masuk Golkar. Kami enggak mau karena kan tentara. Tentara kan Sapta Marga. Karena enggak mau maka digusur. Ada yang pulang ke Medan, ke Jawa, ke Bandung. Saya milih pindah ke sini. Tahun 1982 pindah sini. Waktu itu di sini kosong. Dikasih kita oleh lurah tinggal di sini. Dibikin musala," Ilyas membeberkan.

Dia pun tidak menyangka bisa menjadi korban gusuran yang memang lokasi tersebut sudah diwanti-wanti Pemprov DKI akan ditertibkan. Terlebih, sebelum pembongkaran terjadi, dia telah melapor ke Polres Jakarta Selatan untuk meminta bantuan perihal rencana tersebut.

"Saya sebelum digusur itu datang ke Polres. Saya bilang tolong bantu saya. Saya pejuang. Katanya sabar, Pak. Saya ke lapangan besok saya amankan besok," ujar dia.

2 dari 2 halaman

Kini Tinggal di Cakung

"Eh tahu-tahu pas digusur dia nonton aja di belakang situ. Saya ajak ke sini enggak mau dia. Komandan kodim dia. Enggak mau tahu. Saya bilang tentara apa kamu ini. Saya minta bantu ke mana kamu," tutur Ilyas.

Kini dia hanya dapat menghela napas. Bersama anaknya, Ilyas kini tinggal di kawasan Cakung, Jakarta Timur.

"Saya tinggal di sini berdua sama ibu. Anak jauh-jauh. Di Medan, di Padang, di Bali. Anak ada 14, cucu 30. Sekarang ya ke Cakung. Rumah anak saya yang kedelapan ini," kata Ilyas.

"Ya saya mungkin berjasa. Tapi pemerintah enggak ngasih. Pemerintah enggak mau tau," kata dia.

Catatan Liputan6.com, 17 Agustus 2011, Ilyas adalah salah seorang veteran yang menerima penghargaan tepat 17 Agustus 2011. Wakil Gubernur saat itu, Prijanto, memberikan hadiah satu unit apartemen di Kalibata City.

Soal Ilyas yang mengaku sebagai pengibar Sang Saka Merah Putih sempat menjadi perdebatan. Namun berdasarkan catatan setneg.go.id, tidak ditemukan nama Ilyas Karim atau Singgih.

Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara RI Prof Dr H Dadan Wildan MHum dalam Membuka Catatan Sejarah: Detik-Detik Proklamasi, 17 Agustus 1945 menyebutkan, dari orang-orang yang hadir dalam pengibaran bendera Merah Putih itu terdapat Wakil Wali Kota Soewirjo.

Berikut penggalan catatan Dadan yang dilansir setneg.go.id.

"Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan  kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para  pemuda  yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia (Hatta, 1970:53).

Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada  Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di  belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak  sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera."