Sukses

Ahok: Bahasa Indonesia Saya Tidak Buruk, Tahu Beda Gila dan Bila

Kemarahan Ahok yang menulis kata gila itu memicu reaksi negatif dari anggota dewan.

Liputan6.com, Jakarta Gubernur DKI Jakarta Ahok marah besar saat draf Perda Reklamasi terkait kontribusi tambahan dipermainkan oleh DPRD DKI Jakarta, yang mengakibatkan kontribusi tambahan dan kontribusi malah hilang. Melihat hal itu, Ahok langsung menulis kata 'gila' di poin kontribusi tambahan yang membuat Ketua Badan Legislasi Daerah Mohammad Taufik marah.

Sekretaris Daerah Saefullah mencoba menenangkan dewan dengan menyebut itu bukan 'gila' tapi 'bila'. Namun Ahok menegaskan, menulis kata gila karena berpotensi korupsi.

"Saya katakan 'gila' kalau ini bisa jadi korupsi. Saya katakan itu memang 'gila' bukan 'bila'. 'Bila' dan 'kalau' tidak bisa digabung Pak, bahasa Indonesia saya tidak terlalu buruk," ujar pemilik nama Basuki Tjahaja Purnama ini saat menjadi saksi kasus suap reklamasi dengan terdakwa M Sanusi di ruang sidang Tipikor, Jakarta, Senin (5/9/2016).

Kemarahan Ahok yang menulis kata gila itu memicu reaksi negatif dari anggota dewan. Mereka mengancam tidak akan ada rapat paripurna untuk pembahasan Perda Reklamasi sehingga tidak disahkan.

"Tiga kali hadir enggak ada yang datang, enggak cukup saya tunggu di dalam, enggak mau, malu katanya. Kawan-kawan di DPRD tidak mau putuskan paripurna. Padahal, perda yang satu tidak ada hubungannya dengan kontribusi kenapa disandera juga. Mereka enggak mau juga," Ahok memungkas.

Dakwaan Sanusi

Jaksa mendakwa Sanusi menerima suap Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman, Trinanda Prihantoro. Diduga suap Rp 2 miliar itu ditujukan dengan maksud, Sanusi selaku anggota DPRD DKI dan Ketua Komisi D DPRD DKI 2014-2019 dapat membantu percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).

Suap juga dimaksudkan agar Sanusi mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman selaku Presdir PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MSW). Tujuannya, agar PT MSW mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.

Atas perbuatan itu, Sanusi yang juga adik kandung Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik tersebut didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.‎

Selain itu, Jaksa juga mendakwa Sanusi dengan pencucian uang.‎ ‎Sanusi didakwa melakukan pencucian uang dengan membelanjakan atau membayarkan uang senilai Rp 45.287.833.733 (Rp 45 miliar lebih) untuk pembelian aset berupa tanah dan bangunan serta kendaraan bermotor. Tak cuma itu, Sanusi juga menyimpan uang US$ 10 ribu dalam brankas di lantai 1 rumahnya di Jalan Saidi I Nomor 23, Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Uang senilai Rp 45 miliar lebih itu didapat Sanusi dari‎ para rekanan Dinas Tata Air Pemerintah Provinsi DKI Jakarta‎ yang merupakan mitra kerja Komisi D DPRD DKI. Para rekanan Dinas Tata Air Pemprov DKI itu dimintai uang Sanusi terkait pelaksanaan proyek pekerjaan antara tahun 2012 sampai 2015.

Atas perbuatannya, Jaksa mendakwa Sanusi dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.