Liputan6.com, Jakarta Gubernur DKI Jakarta Ahok naik pitam saat mendengar pertanyaan dari penasihat hukum terdakwa kasus suap reklamasi Mohamad Sanusi. Beberapa pertanyaan membuat suasana sidang menjadi memanas.
Saat itu, Ahok ditanya penasihat hukum Sanusi, Maqdir Ismail, soal kontribusi tambahan yang dibayar pengembang akan menjadi tambahan insentif bagi eksekutif. Terutama mengingat kontribusi tambahan senilai 15 persen dari NJOP.
"Setiap PBB uang dipungut pasti dapat insentif. Jangan seolah-olah kami yang menentukan NJOP itu kami. Kan ada Menteri Keuangan karena itu saya rasa tidak relevan," ujar pemilik nama Basuki Tjahaja Purnama ini di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (5/9/2016).
Advertisement
Ahok pun meminta majelis hakim menghentikan pertanyaan yang tidak relevan dengan materi sidang. Hanya saja, permintaan itu ditolak karena mungkin penasihat hukum memang ingin mendengar penjelasan tentang itu.
"Mungkin saudara penasihat hukum tidak tahu. Silakan lanjutkan," kata ketua majelis hakim.
Mendengar itu, para hadirin menyoraki Ahok sambil bertepuk tangan. Beberapa pertanyaan selanjutnya juga dijawab Ahok dengan nada tinggi. Bahkan, dia menuding penasihat hukum Sanusi sudah keluar dari topik persidangan.
Mendengar protes itu, Maqdir pun terlihat marah. Dia menegaskan bahwa ia tidak bisa diatur oleh Ahok.
"Saudara saksi tidak bisa mengarahkan saya bagaimana cara saya membela," Maqdir menegaskan.
Dakwaan Sanusi
Jaksa mendakwa Sanusi menerima suap Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman, Trinanda Prihantoro. Diduga suap Rp 2 miliar itu ditujukan dengan maksud, Sanusi selaku anggota DPRD DKI dan Ketua Komisi D DPRD DKI 2014-2019 dapat membantu percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
Suap juga dimaksudkan agar Sanusi mengakomodasi pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman selaku Presdir PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MSW). Tujuannya, agar PT MSW mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.
Atas perbuatan itu, Sanusi yang juga adik kandung Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik tersebut didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Selain itu, jaksa mendakwa Sanusi dengan pencucian uang. Sanusi didakwa melakukan pencucian uang dengan membelanjakan atau membayarkan uang senilai Rp 45.287.833.733 (Rp 45 miliar lebih) untuk pembelian aset berupa tanah dan bangunan serta kendaraan bermotor. Tak cuma itu, Sanusi juga menyimpan uang US$ 10 ribu dalam brankas di lantai 1 rumahnya di Jalan Saidi I Nomor 23, Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Uang senilai Rp 45 miliar lebih itu didapat Sanusi dari para rekanan Dinas Tata Air Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang merupakan mitra kerja Komisi D DPRD DKI. Para rekanan Dinas Tata Air Pemprov DKI itu dimintai uang Sanusi terkait pelaksanaan proyek pekerjaan antara tahun 2012 sampai 2015.
Atas perbuatannya, jaksa mendakwa Sanusi dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.