Liputan6.com, Jakarta Pengacara Sanusi, Krisna Murti mengatakan, apa yang dikatakan Ahok soal raperda reklamasi sudah ada sejak zaman Soeharto merupakan bohong belaka. Yakni Perda Nomor 8 tahun 1995.
"Tidak ada itu perda semacam itu. Silakan dicek,” kata Krisna di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (5/9/2016).
Krisna menegaskan, terkait pernyataannya itu, Ahok bisa masuk dalam kategori memberikan kesaksian palsu. Karena itu, Krisna melihat seharusnya ada penilaian tersendiri dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Advertisement
"Dalam Undang-Undang Tipikor sudah jelas disebut pada Pasal 21 bahwa memberikan keterangan palsu ini juga dapat dipidanakan. Dan maksimal hukumannya ini kan bisa 7 tahun penjara," ujar Krisna.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengatakan Peraturan Daerah (Perda) Reklamasi Pantai Utara Jakarta sudah ada sejak zaman Presiden Soeharto.
Perda yang dimaksud, yakni Perda Nomor 8 tahun 1995 yang mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 52 tahun 1995.
Menurut Ahok, draf Rancangan Perda (Raperda) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKSP) yang diusulkan ke DPRD DKI merujuk dari Perda Nomor 8 tahun 1995.
"Kita teruskan Perda tahun 1995, karena Perda Reklamasi sudah ada sejak 1995.
Perda Nomor 8 tahun 1995 dan itu mengacu ke Kepres Nomor 52 tahun
1995," kata Ahok saat bersaksi dalam sidang lanjutan terdakwa Mohamad Sanusi di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Ahok menjelaskan, pun demikian dirinya hanya memperpanjang izin prinsip yang
dipegang beberapa perusahaan. Yang mana izin tersebut dikeluarkan
Gubernur DKI era Fauzi Bowo.
Terkait pemberian izin Presiden Soeharto juga sudah mengeluarkan izin reklamasi bagi perusahaan pengembang jika mengacu pada Keppres Nomor 52 tahun 1995.
"Jadi kalau kita lihat ke dalam Keppres Nomor 52 tahun 1995 jelas Presiden Soeharto keluarkan izin reklamasi pantura. Di pasal berapa gitu, huruf D menimbang untuk mewujudkan pantai utara Jakarta jadi kawasan andalan perlu reklamasi sekaligus menata ruang daratan pantai yang ada," kata Ahok.
Jaksa mendakwa Sanusi menerima suap Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman, Trinanda Prihantoro.
Diduga suap Rp 2 miliar itu ditujukan dengan maksud, Sanusi selaku anggota DPRD DKI dan Ketua Komisi D DPRD DKI 2014-2019 dapat membantu percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
Suap juga dimaksudkan agar Sanusi mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman selaku Presdir PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MSW). Tujuannya, agar PT MSW mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.
Atas perbuatan itu, Sanusi yang juga adik kandung Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Selain itu, Jaksa juga mendakwa Sanusi dengan pencucian uang. Sanusi didakwa melakukan pencucian uang dengan membelanjakan atau membayarkan uang senilai Rp 45.287.833.733 (Rp 45 miliar lebih) untuk pembelian aset berupa tanah dan bangunan serta kendaraan bermotor.
Tak cuma itu, Sanusi juga menyimpan uang US$ 10 ribu dalam brankas di lantai 1 rumahnya di Jalan Saidi I Nomor 23, Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Uang senilai Rp 45 miliar lebih itu didapat Sanusi dari para rekanan Dinas Tata Air Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang merupakan mitra kerja Komisi D DPRD DKI. Para rekanan Dinas Tata Air Pemprov DKI itu dimintai uang Sanusi terkait pelaksanaan proyek pekerjaan antara tahun 2012 sampai 2015.
Atas perbuatannya, Jaksa mendakwa Sanusi dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.