Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso memasuki babak baru. Pada sidang ke-18, giliran pihak Jessica yang menghadirkan saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tak tanggung-tanggung, pihak Jessica menghadirkan saksi pertamanya dari Brisbane, Australia, yakni ahli patologi forensik Prof Dr Beng Beng Ong. Dalam persidangan, Beng beberapa kali memberikan keterangan yang bertentangan dengan ahli-ahli yang sebelumnya dihadirkan pihak jaksa penuntut umum (JPU).
Berikut empat bantahan saksi ahli yang dihadirkan dari Australia:
Advertisement
1. Mirna Tewas Bukan karena Sianida
Fakta mengejutkan keluar dari mulut Beng Beng Ong. Guru besar Fakultas Kedokteran Quensland University, Brisbane, Australia itu mengatakan kuat dugaan kematian Wayan Mirna Salihin bukan karena racun sianida.
Berdasarkan pengalaman dan literatur, kata Beng, orang yang tewas akibat sianida, biasanya di lambungnya terdapat 1.000 mg/liter bahkan lebih senyawa natrium sianida itu. Sementara dalam lambung Mirna, hanya terdapat 0,2 mg/liter sianida.
Apalagi, zat sianida hanya ditemukan dalam lambung Mirna. Sementara beberapa organ lain seperti darah, hati, empedu, dan urine Mirna dinyatakan negatif sianida.
"Hasil pemeriksaan empedu dan hati seharusnya positif. Dan sebagaimana hasil pemeriksaan toksikologi, dalam barang bukti nomor 5 yang diambil dari lambung (Mirna) hanya 0,2 miligram per liter. Padahal kalau keracunan sianida harusnya (dosis sianida pada korban) 1.000 atau ratusan miligram," ujar Beng Ong.
Hal itu tentu membantah keterangan ahli yang dihadirkan JPU, dokter forensik RS Polri, Slamet Purnomo. Pada sidang sebelumnya, Slamet bahkan sangat yakin Mirna tewas akibat sianida berdasarkan lima gejala yang ia temui.
Pertama, Mirna semula dalam kondisi sehat dan mendadak sakit hingga meninggal dunia. Gejala kedua, ada riwayat korban kontak dengan benda yang diperkirakan mengandung racun sianida, yakni es kopi Vietnam.
"Ketiga, ada gejala atau tanda sesuai dengan racun yang dikonsumsi," ujar Slamet di PN Jakarta Pusat, Rabu 3 Agustus 2016.
Gejala keempat, ditemukan racun atau bahan di tempat kejadian perkara. Dan kelima, ditemukan adanya racun yang sama di dalam tubuh korban yang seharusnya tidak ada.
"Lima hal ini yang menentukan penegakan diagnosis itu memenuhi prosedur standar bahwa itu keracunan sianida," tandas dr Slamet.
2. Sianida di Lambung Mirna Alami
Keyakinan Beng Ong bahwa kematian Mirna bukan akibat sianida diperkuat dengan bukti yang menyatakan senyawa racun itu hanya ditemukan sebanyak 0,2 mg/liter dalam lambung. Bukti lain yakni sejumlah organ penting seperti hati, empedu, dan urine Mirna dinyatakan negatif sianida.
Lalu dari mana sianida dalam lambung Mirna berasal?
Menurut Beng, sianida dapat muncul secara alami pascakematian seseorang. Analisis tersebut didasarkan pada hasil sebuah simposium internasional berjudul "Diagnosis Forensik dari Keracunan Sianida Akut" pada 1972.
"Dari artikel ini, adalah mungkin 0,2 miligram per liter sianida di tubuh (Mirna) diakibatkan oleh sianida pascakematian. Simposiumnya memang sudah lama, tapi hingga hari ini tidak ada teori yang membantah," kata Beng Ong.
Pernyataan ini tentu membantah keterangan-keterangan ahli sebelumnya yang meyakini Mirna tewas akibat racun sianida. Bahkan sejumlah ahli sebelumnya meyakini sianida yang masuk ke tubuh Mirna sangat tinggi.
Hal itu terbukti dengan masih ditemukannya 0,2 mg/liter sianida di lambung Mirna. Sementara di beberapa organ lainnya tidak ditemukan sianida.
Hal itu lantaran sianida memiliki sifat cepat menguap. Sehingga dipastikan saat itu sianida di tubuh Mirna sudah banyak yang hilang. Apalagi pengambilan sampel baru dilakukan empat hari setelah kematian.
Pernyataan ini tidak hanya disampaikan oleh dr Slamet Purnomo. Hal ini juga diamini ahli forensik dari RSCM, Budi Sampurna, yang dihadirkan di persidangan sebelumnya.
"Yang jelas ditemukan masih ada sekian (0,2 mg/liter) di dalam waktu empat hari. Secara logika mungkin sebelumnya (jumlah sianida) lebih dari itu," kata Budi di PN Jakarta Pusat, Rabu, 31 Agustus 2016.
Advertisement
3. Efek Sianida Lebih dari 5 Menit
Sama seperti ahli-ahli sebelumnya yang dihadirkan JPU, Beng Ong mengungkapkan gejala klinis orang keracunan sianida adalah mual, muntah, kesulitan bernapas, kejang-kejang, hingga meninggal dunia. Namun penjelasan Beng soal seberapa lama racun bereaksi berbeda dengan ahli-ahli sebelumnya.
Ahli patologi forensik dari Brisbane, Australia, ini mengatakan, gejala keracunan sianida dengan cara oral atau masuk dari mulut baru terlihat setelah lima menit atau lebih. Sebab, racun yang ditelan harus masuk ke lambung sebelum diserap tubuh.
Selain itu, sebagian racun juga masuk ke usus sebelum diserap tubuh. Ketika sudah diserap tubuh, maka racun akan masuk ke aliran darah melewati hati. Hati adalah organ penyaring yang besar.
"Jadi pada awalnya racun tersebut akan dinetralisir oleh jaringan yang ada di dalam hati. Telah diuraikan dalam literatur akan memakan lebih dari 5 menit bahkan hingga beberapa jam (reaksi racun)," ujar Beng.
Keterangan ini tentu berbeda dengan fakta di lapangan, bahwa kurang dari 5 menit Mirna telah menunjukkan gejala aneh usai minum es kopi Vietnam di Kafe Olivier pada 6 Januari lalu. Dengan cepat setelah merasa mual, Mirna langsung kolaps.
Dokter Slamet Purnomo yang saat itu menangani jenazah Mirna mengatakan, sianida dengan kadar tertentu dapat membunuh orang dengan cepat. Bahkan reaksi akibat menelan racun sianida dapat terlihat dalam waktu tidak lebih dari 5 detik.
"Berdasarkan analisis beliau (ahli toksikologi), sianida di tubuh Mirna ada dua kali lipat dari dosis biasa yang mematikan. Ini yang menimbulkan gejala yang begitu cepat," ucap Slamet di PN Jakarta Pusat, Rabu, 3 Agustus 2016.
4. Sulit Cari Kesimpulan Tanpa Autopsi
Beng Ong mengungkapkan sulit menentukan penyebab kematian tanpa melakukan autopsi secara menyeluruh. Apalagi kematian yang dianggap tidak wajar, seperti yang terjadi pada Wayan Mirna Salihin.
Namun ternyata jenazah Mirna tidak dilakukan autopsi secara menyeluruh. Hanya dilakukan pengambilan sampel pada lambung Mirna yang dicurigai tewas akibat racun sianida.
Tidak dilakukannya autopsi, kata Beng, menutup kemungkinan Mirna tewas akibat hal lain, seperti memiliki riwayat penyakit turunan, atau serangan jantung. Selain itu, analisis toksikologi secara lengkap dan menyeluruh juga harus dilakukan untuk mengetahui kebenaran kematian Mirna akibat racun sianida.
Ternyata, penjelasan toksikologi dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dianggap Beng Ong tidak lengkap. Apalagi, sampel lambung Mirna hanya ditemukan 0,2 mg/liter sianida. Sementara beberapa organ lainnya dinyatakan negatif sianida.
"Saya pikir ini (hanya periksa sampel lambung) tidak memadai, sebagaimana didemonstrasikan dalam kasus ini. Saya temukan bahwa penyebab kematian tidak dapat disimpulkan," Beng Ong menandaskan.
Berbeda dengan keterangan ahli forensik dari RSCM, dokter Budi Sampurna. Meski tidak dilakukan autopsi, cara lain mencari penyebab kematian Mirna adalah dengan melihat gejala dan rekam peristiwa dari CCTV di Kafe Olivier.
"Kalau orang itu memperlihatkan gejala-gejala yang khas dan spesifik dengan gejala racun dalam isi lambung, maka bisa dikatakan penyebab kematian oleh racun (sianida) itu tadi," tutur Budi di PN Jakarta Pusat, Rabu 31 Agustus 2016.
Sementara JPU Ardito Muwardi mengakui, bahwa autopsi merupakan golden standart dalam mengungkap penyebab kematian. Kendati, kondisi sosial masyarakat kerap menghambat autopsi bisa dilakukan secara menyeluruh. Apalagi tidak ada aturan hukum yang mengharuskan autopsi dilakukan.
Bahkan di beberapa negara maju, autopsi sudah mulai ditinggalkan. Mereka menggunakan teknologi mutakhir untuk mengetahui penyebab kematian hanya dengan melakukan pemeriksaan luar, atau tanpa autopsi.
"Ada teknologi untuk tidak dilakukan autopsi penuh. Bisa dilakukan dengan mengamati. Keharusan autopsi tidak jadi sebuah yang mutlak dilaksanakan. Memang autopsi goldan standart tidak bisa dimungkiri," kata Ardito di sela-sela persidangan, Senin, 5 September 2016.
Kematian Wayan Mirna Salihin masih menjadi misteri. Mirna tewas sesaat setelah minum es kopi Vietnam yang dipesankan Jessica Kumala Wongso di Kafe Olivier, Jakarta Pusat, pada 6 Januari 2016 lalu.
Dalam kasus ini, Jessica didakwa telah meracuni Mirna. Dia dituding menaruh racun sianida ke dalam gelas kopi yang diminum Mirna. Jessica didakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Dia terancam kurungan maksimal seumur hidup atau hukuman mati.
Advertisement