Liputan6.com, Jakarta - PT Kapuk Naga Indah (KNI) menjadi salah satu perusahaan yang turut mengerjakan proyek pulau reklamasi Jakarta. Anak perusahaan PT Agung Sedayu Group itu belum membayar di muka kontribusi tambahan 15 persen yang dibebankan kepada pengembang reklamasi.
Sikap managemen perusahaan ini berbeda dengan PT Muara Wisesa Samudera (MSW), anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (APL).
Chairman PT Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, membenarkan pihaknya belum membayar kontribusi tambahan itu. Dia menjelaskan pihaknya sudah membangun sejumlah infrastruktur. Salah satunya, rumah susun. Namun proyek-proyek itu bukan dimasukkan sebagai uang muka pembayaran tambahan kontribusi.
Advertisement
"Saya bangun jalan, saya bangun rumah susun. Karena memang kita punya kewajiban untuk bangun rumah susun. Rumah susun sudah saya serahkan. Tadinya masuk kontribusi tambahan. Tapi karena belum ada payung hukum, jadi masuk ke kewajiban," ucap Aguan saat bersaksi dalam sidang lanjutan dengan terdakwa Mohamad Sanusi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (7/9/2016).
Penjelasan ini kemudian ditimpali oleh Sanusi. Terdakwa penerima suap pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP) dan pencucian uang itu mengatakan, tak salah jika DPRD DKI akhirnya menolak pasal soal tambahan kontribusi dalam Raperda RTRKSP. Sebab, tambahan kontribusi 15 persen itu belum ada landasan hukumnya.
"Itu membuktikan bahwa dewan bukan tidak setuju dengan 15 persen. Tapi persoalannya (tambahan kontribusi 15 persen) itu tidak mempunyai dasar hukum terhadap tambahan kontribusi," ujar eks politikus Partai Gerindra tersebut.
Oleh karena itu, dia heran dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang menggunakan perjanjian antara Pemprov DKI dengan PT Manggala Kriya Yudha (MKY) sebagai dasar untuk membebankan tambahan kontribusi kepada seluruh pengembang reklamasi.
"Kalau Anda semua dengar pernyataan pak gubernur dasar hukumnya (tambahan kontribusi) itu kan perjanjian MKY yang dulu. Masak perjanjian orang atau perusahaan dengan pemda dijadikan dasar hukum," ucap Sanusi.
Sebelumnya, jaksa mendakwa Sanusi menerima suap Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman, Trinanda Prihantoro. Suap Rp 2 miliar itu diduga diberikan agar Sanusi selaku anggota DPRD DKI dan Ketua Komisi D DPRD DKI 2014-2019 dapat membantu percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
Suap juga dimaksudkan agar Sanusi mengakomodasi pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman selaku Presdir PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MSW). Tujuannya, agar PT MSW mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.