Liputan6.com, Jakarta Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengaku pasrah dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengabulkan gugatan uji materi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Sebab, dengan dikabulkan uji materi tersebut, rekaman penyadapan pembicaraan terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dianggap tidak sah. Sehingga rekaman tersebut tidak bisa dijadikan alat bukti Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait penyelidikan perkara dugaan pemufakatan jahat alias kasus 'Papa Minta Saham'.
"Ya bagaimana, putusan MK sudah final dan kita tidak bisa apa-apa. Ya ini fakta masalahnya seperti itu, mau apalagi," kaya Prasetyo di Gedung Badan Diklat Kejaksaan, Ragunan, Jakarta Selatan, Jumat (9/9/2016).
Advertisement
Menurut Prasetyo, pihaknya tetap akan mengkaji putusan MK tersebut terutama dalam kaitannya penyelidikan perkara pemufakatan jahat.
"Ini juga suatu hal yang tentunya memerlukan pengkajian ulang dari kita," ucap dia.
Ketika disinggung mengenai kelanjutan perkara tersebut, Prasetyo hanya menjawab diplomatis. Ia mengatakan kasus yang diduga melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto itu masih dalam tahap penyelidikan.
"Kita masih tetap penyelidikan ya," singkat dia.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu 7 September 2016 lalu mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU ITE yang diajukan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto.
Setnov menggugat UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan yang sah, terutama dengan dokumen elektronik hasil dari penyadapan.
Mahkamah dalam pertimbangannya berpendapat, penyadapan adalah kegiatan yang dilarang karena melanggar hak konstitusional warga negara, khususnya hak privasi untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin Pasal 28F UUD 1945.
Begitu pula dalam konteks penegakan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa kewenangan penyadapan juga seharusnya sangat dibatasi. Penyadapan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar hak privasi warga negara yang dijamin UUD 1945 tidak dilanggar.
Berdasarkan hal itu maka Mahkamah menilai perlu memberi tafsir terhadap frasa 'informasi elektronik dan atau dokumen elektronik' yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor.
Mahkamah perlu juga mempertimbangkan mengenai bukti penyadapan berupa rekaman pembicaraan sesuai dengan hukum pembuktian.
Mahkamah berpendapat, ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, maka bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.