Liputan6.com, Jakarta Senyum cerah terus menghiasi wajah pria paruh baya itu. Dengan ramah dia menyambut satu-persatu penyintas atau korban bom Kuningan yang datang di acara peringatan 12 tahun tragedi yang menewaskan 9 orang itu.
Namanya Iswanto, usianya 42 tahun. Dari keceriaan yang dia sebar, tak ada yang menyangka bahwa Iswanto adalah salah satu korban tragedi bom Kuningan. Dengan suara bergetar, Iswanto menceritakan sedikit pengalamannya saat ledakan bom yang membuatnya kehilangan mata kanan.
"Saya bertugas sebagai satpam di Kedubes Australia. Saya tidak bermaksud mengungkit luka lama. Tapi hari itu tidak akan terlupa seumur hidup. Bagaimana menyakitkannya menjadi korban bom. Bagaimana sakitnya melihat teman kami mendapat kecacatan yang luar biasa," ucap Iswanto. Senyum dia perlahan memudar saat menceritakan.
Advertisement
Di pagi yang penuh teror, 9 September 2004, Iswanto sedang bertugas sebagai penjaga lalu lintas di depan kedutaan Australia. Sekitar pukul 10.15, sebuah mobil boks datang ke arahnya, menuju gerbang kedutaan.
Sampai tiba-tiba, mobil boks itu meledak. Tepat di depannya.
"Mobil boks itu berjalan pelan yang bertujuan masuk di gerbang Kedubes. Saya melihat mobil itu, saya mengarahkan mobil itu agar tidak maju ke gerbang. Tiga langkah saya berteriak mengarahkan mobil itu, tapi mobil itu meledak," ucap Iswanto.
Seketika semua gelap. Iswanto tidak dapat melihat apa pun. Dia hanya dapat mendengar raungan dan teriakan. Tak lama, Iswanto baru merasakan sakit di sekujur tubuh. Sakit yang tak tertanggungkan. 38 titik luka di tubuhnya baru sembuh sepenuhnya usai puluhan operasi yang dijalani selama berbulan-bulan.
Panas yang Luar Biasa
"Ada 38 titik luka. Mata sebelah kanan saya buta permanen. Saya hanya mendengar suara teman saya berteriak minta tolong panik. Saya mencoba bangun, mencoba melihat. Namun hanya melihat kegelapan. Saya tidak menyadari mata saya tertusuk. Saya hanya merasakan panas yang luar biasa," tutur Iswanto.
Dua tahun menjalani pengobatan di Singapura dan Australia, Kini, Iswanto bekerja sebagai staf di Kedubes Australia.
"Pemerintah (Indonesia) perhatiannya kecil. Banyak teman butuh pertolongan khususnya obat. Dari 200-an korban, tinggal 11 orang yang masih diberi obat dari Australia," ucap dia.
Iswanto cukup beruntung karena dia salah satu korban bom Kuningan yang biaya pengobatannya ditanggung oleh Australia. Untuk itu, dia berharap agar pemerintah Indonesia lebih perhatian pada korban bom.
"Hingga kini saya masih rutin minum obat dan ke rumah sakit. Gendang telinga kiri saya masih bermasalah. Robek," ujar dia.
"Pesan saya, yang diperhatikan jangan hanya pelaku, tapi korban juga, bagaimana memperdayakan korban, menjadikan korban menjadi duta perdamaian. Ayo kita bangkit bersama," ia menandaskan.
Advertisement