Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Dalam Negeri periode 2010-2011, Maliki Heru Santoso. Maliki akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Gedung Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
"Dia jadi saksi untuk tersangka DJ (Dudy Jocom)," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, Jakarta, Rabu (14/9/2016).
Bersamaan dengan itu, KPK memeriksa Direktur Umum IPDN Agam, Ismail Nurdin. KPK juga memeriksa pula Bagustanto dari pihak swasta; Staf PT Hutama Karya Narwatri Kurniasih, Hudaeli Kusnendar, dan Tri Yudi Surahmat; PNS bernama Indra Budiman Syamwil dan Mahendra Baski; Syahriah yang menjabat Kepala Divisi PT Bina Karya; serta Didiet Arief Akhdiat yang merupakan pengelola teknis Ditjen Cipta Karya.
Advertisement
"Mereka juga jadi saksi untuk tersangka DJ," kata Yuyuk.
KPK dalam kasus ini sudah memeriksa puluhan saksi. Bahkan KPK pernah memeriksa 42 saksi di Kampus IPDN, Baso, Kabupaten Agam, secara maraton pada 17 Maret-23 Maret 2016. Pemeriksaan 42 saksi itu dilakukan KPK sebagai langkah efektivitas dan efisiensi. Sebab, semua saksi tinggal di Sumbar, sehingga akan memakan waktu dan tenaga jika semua dipanggil ke Jakarta.
Selain itu, KPK pernah memeriksa dua pejabat tinggi perusahaan pelat merah, PT Hutama Karya. Yakni Muhammad Fauzan selaku Direktur dan Remon Debal sebagai Deputi Project Manager Divisi Gedung tahun 2011.
Pada kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung Kampus IPDN di Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 2011 ini, KPK telah menetapkan dua orang sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Dudy Jocom dan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya, Budi Rachmat Kurniawan.
Kedua tersangka diduga menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain dalam proyek pembangunan Gedung Kampus IPDN Kabupaten Agam yang diresmikan Mendagri era Gamawan Fauzi pada 2013 silam tersebut. Akibat perbuatan keduanya, negara diduga rugi sebesar Rp 34 miliar dari total nilai proyek Rp 125 miliar.
Keduanya disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 huruf a atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.