Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik menyebut tidak ada deadlock selama rapat antara Badan Legislasi Daerah (Belegda) dan pihak Pemerintah Provinsi DKI dalam pembahasan soal Raperda Rencana Tata Ruang Strategis Kawasan Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
"Tidak benar deadlock. Yang ada adalah adu argumentasi antara Balegda dan Pemprov," ujar Taufik saat bersaksi untuk terdakwa Mohamad Sanusi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (14/9/2016).
Baca Juga
Salah satu perdebatan panjang, kata dia, saat membahas salah satu pasal terkait jalan melintang yang akan dibangun di ujung Pulau E. Jalan tersebut disebutnya akan menghalangi lalu lalang kapal.
Advertisement
"Bagaimana kapal bisa masuk ke pelabuhan kalau ada jalan melintang, bentangan jalan itu? Karena Pulau E itu ada pelabuhan, bentangan kapal itu 30 meter. Akhirnya disepakati jalan itu ditiadakan. Itu satu pasal," ujar Taufik.
Menurut dia, perdebatan juga menarik ketika membahas pasal yang mengatur soal tambahan kontribusi 15 persen kali NJOP dari total luas lahan yang dapat dijual. Taufik mengaku, Balegda tidak berniat menghilangkan keberadaan ketentuan tambahan kontribusi tersebut.
"Paling menarik soal pasal tambahan kontribusi 15 persen. Kita tidak bermaksud menghilangkan. Ini jadi perdebatan panjang," ujar politikus Partai Gerindra yang juga kakak kandung Sanusi tersebut.
Diatur Melalui Pergub
Apalagi, menurut dia, ternyata tambahan kontribusi itu tidak ada dasar hukumnya. "Kita tanyakan tambahan kontribusi ada dasar hukum nggak? Yang dijawab biro hukum (Pemprov DKI) tidak ada dasar hukum. Kemudian dijawab oleh Bu Tuty (Kepala Bappeda) diskresi," ujar Taufik.
Melihat tidak ada dasar hukumnya, Taufik yang juga Ketua Balegda itu kemudian meminta agar ketentuan besaran tambahan kontribusi diatur ke Peraturan Gubernur (Pergub) DKI.
"Kita bilang dipindahkan saja ke pergub. Karena yang buat Pergub itu eksekutif (Gubernur DKI), bukan legislatif, jadi selesai ini," ucap politikus Partai Gerindra.
Pun demikian ketika draf kedua Raperda RTRKSP dikirim Pemprov DKI ke Balegda pada 22 Februari 2016, menurut Taufik, besaran tambahan kontribusi dituang ke Pergub. Sehingga, masalah besaran 15 persen dalam tambahan kontribusi itu disebut Taufik sudah selesai.
"(Draf kedua) sudah selesai. Dipindah dalam Pergub. Dalam pasalnya itu diatur besaran, bentuknya kita serahkan ke Pergub. Jadi sudah ketok palu soal tambahan kontribusi itu," ujar Taufik.
Keterangan yang Berbeda
Kesaksian Taufik itu bertolak belakang dengan keterangan Kepala Bappeda DKI Tuty Kusumuawati. Dalam sidang dengan terdakwa Ariesman Widjaja, Kamis 30 Juni 2016 lalu, Tuty menyebut pembahasan Raperda RTRKSP mengalami deadlock. Terutama ketika membahas soal tambahan kontribusi.
Deadlock yang terjadi sepanjang rapat terjadi karena M Sanusi mengubah rumusan penjelasan Pasal 110 ayat 5 huruf e yang awalnya berbunyi 'cukup jelas' menjadi "tambahan kontribusi adalah kontribusi yang dapat diambil dengan mengkonversi dari kontribusi (yang 5 persen) yang akan diatur dengan perjanjian kerjasama antara gubernur dengan pengembang".
Tuty menjelaskan, untuk pembahasan pasal lain sejak November 2015, tak ada masalah yang berarti antara pihak legislatif dan eksekutif. Pada tanggal 8 Maret dalam pertemuan penyelarasan hasil-hasil pembahasan rapat-rapat sebelumnya, Tuti diberi lampiran dokumen setebal 2 halaman oleh Mohamad Sanusi.
"Intinya dalam masukan itu, DPRD meminta agar tambahan kontribusi diambil dari yang 5 persen itu (perubahan pasal 110 ayat (5) huruf e). Saya kaget, ketika saya baca, saya bilang akan melaporkan dulu ke Gubernur," ucap Tuty.
Jaksa mendakwa Sanusi menerima suap Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman, Trinanda Prihantoro. Diduga suap Rp 2 miliar itu ditujukan dengan maksud, Sanusi selaku anggota DPRD DKI dan Ketua Komisi D DPRD DKIÂ 2014-2019 dapat membantu percepatan pembahasan dan pengesahan Raperda tentang RTRKSP.
Selain itu, jaksa juga mendakwa Sanusi dengan pencucian uang.‎ ‎Sanusi didakwa melakukan pencucian uang dengan membelanjakan atau membayarkan uang senilai Rp 45.287.833.733 (Rp 45 miliar lebih) untuk pembelian aset berupa tanah dan bangunan serta kendaraan bermotor.
Atas perbuatannya, jaksa mendakwa Sanusi dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.