Liputan6.com, Jakarta Diskriminasi terhadap industri rokok kretek oleh komunitas anti tembakau, tak henti-hentinya dilakukan. Kesehatan menjadi isu sentral yang dihembuskan hingga kini.
Dr. Kartono Muhammad dalam makalah berjudul “Mengapa Rokok Perlu Diatur” mengemukakan, alasan utama pengaturan rokok adalah karena risikonya terhadap kesehatan.
Menurut Kartono, rokok mengandung nikotin dan zat adiktif, yang menyebabkan kecanduan. Karenanya sangat berbahaya bagi perokoknya sendiri, orang bukan perokok di sekitarnya terutama anak-anak, juga berbahaya bagi janin dalam kandungan.
Advertisement
Studi –atau lebih tepatnya asumsi- mengenai hal-hal negatif berkaitan dengan kesehatan akibat rokok ini digunakan untuk semakin menyudutkan industri kretek yang telah memberikan kontribusi tidak sedikit bagi perekonomian jutaan rakyat dan pemasukan yang besar bagi Negara.
Mengutip berbagai riset yang dilakukan Richard D Semba, Saskia de Pee, Kai Sun, Cora M. Best, Mayang Sari dan Martin W Bloem (Paternal Smoking and Increased Risk of Infant and Under-5 Child Mortality in Indonesia, American Journal of Public Health, October, 2008) Kartono Muhammad menuding rokok kretek berkontribusi terhadap kematian bayi dan anak di bawah lima tahun.
Studi yang dilakukan pada 2000-2003 mencatat, bahwa 360 ribu rumah tangga miskin di kota atau desa membuktikan kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga orang tua perokok.
Dikemukakan juga, bahwa 1 dari 5 kematian (20%) balita berhubungan dengan perilaku merokok orang tua. Sedang The United Nations Children’s Fund (Unicef) pada 2006 mencatat, dari 162 ribu kematian balita selama setahun itu, konsumsi rokok keluarga miskin menyumbang 32 ribu kematian/tahun atau 90 kematian balita/hari.
Dari Sentimen
Berbagai studi atau riset yang dilakukan kelompok anti tembakau ini memang sah-sah saja. Namun karena dilakukan oleh kalangan mereka sendiri, maka hasilnya pun sebenarnya perlu dikritisi.
Pertama, terkait hasil survei. Berbagai survei (studi) yang dilakukan oleh kelompok anti tembakau itu berangkat dari sentimen dan asumsi negatif terhadap rokok kretek, sehingga metodologi yang digunakan pun sebenarnya perlu dipertanyakan. Karena berawal dari sentimen, maka survei yang dilakukan pun akan menggunakan metodologi yang hasilnya mendekati yang mereka inginkan.
Kedua, alat propaganda. Survei yang dilakukan kelompok anti tembakau, hasilnya dipergunakan sebagai alat propaganda dan mendorong pemerintah untuk menekan eksistensi industri rokok. Dengan pengertian lain, survei tersebut dilakukan dengan motivasi bagaimana mendapatkan data yang bisa dipergunakan untuk mengambinghitamkan industri rokok kretek.
Jadi, tidak saja metodologi riset dan hasil survei terkait bahaya rokok kretek oleh kelompok anti tembakau yang perlu dikritisi, melainkan motivasi dan rasa tidak senang (sentimen) terhadap basis industri yang satu ini, tentu akan berpengaruh terhadap hasil survei atau riset yang didapatkan.
Hal ini bisa dilihat dari booklet hasil kajian tentang dampak ekonomi tembakau dan pengendaliannya di Indonesia yang dikeluarkan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bekerjasama dengan World Health Organization (WHO) pada 2009.
Dalam kajian tersebut dikemukakan, 98 persen produk tembakau di Indonesia digunakan untuk rokok. Di mana rokok adalah produk yang berbahaya karena mengandung zat adiktif, berisi 4.000 bahan kimia, 69 di antaranya karsigonetik. Zat berbahaya itu antara lain tar, karbon monoksida, sianida, arsen, fromalin, dan nitrosamin.
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan WHO dalam kajian ini akhirnya mengeluarkan berbagai rekomendasi, yaitu peringatan kesehatan bergambar, kawasan tanpa asap rokok, larangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok, dan menaikkan cukai serta harga rokok.
Kajian dari Lembaga Demografi FEUI dan WHO ini lagi-lagi sangat menyudutkan (diskriminatif) terhadap industri rokok di Indonesia. Dan ini bisa dimaklumi, karena ada ‘motivasi’ dan ‘kepentingan’ dibalik kajian yang dilakukan.
Personel para peneliti, sebenarnya juga tidak perlu diragukan, karena mereka adalah para intelektual atau akademisi yang telah mumpuni secara akademik. Hanya saja, motivasi dan sentimen atas apa yang dikaji, tentu akan berimbas pada hasil survei atau kajian yang dilakukan.
Kita tentu bisa berkaca pada beberapa survei politik yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI). Kendati secara kapasitas dan kualitas intelektual personel LSI tidak perlu diragukan, namun tak sedikit hasil survei itu yang kemudian tidak dipercaya oleh publik dan pelaku politik.
Bersikap Bijak
Kelompok anti tembakau sejak awal memosisikan dirinya secara tidak fair melihat industri rokok kretek. Mereka melihat rokok sebagai ‘musuh’ yang harus dimusnahkan, tanpa mau melihat konteks sejarah dan kontribusinya yang begitu besar bagi rakyat dan bangsa.
Taruhlah misalnya ada kebenaran bahwa ada dampak bagi kesehatan yang ditimbulkan akibat rokok, maka itu hanya satu kebenaran. Sehingga, tidak semestinya mereka menutup mata dari kebenaran-kebenaran lain tentang rokok kretek.
Seorang bijak mengemukakan, kebenaran itu ibarat kaca yang jika terjatuh lalu pecah menjadi serpihan-serpihan. Jika kemudian ada yang memungut serpihan kemudian mengatakan serpihan itu sebagai kebenaran, tidaklah salah. Namun ia harus ingat, bahwa masih ada serpihan (kebenaran) lain yang bisa ditemukan orang lain.
Haruskah melihat rokok kretek dengan penuh sentimenal dan kebencian, serta memandangnya sebagai penyebab datangnya berbagai penyakit bahkan kematian, berangkat dari hasil survei kelompok anti tembakau sendiri yang sangat subyektif kebenarannya?
Kalau masalah kesehatan yang menjadi alasan, kenapa tidak mencoba membaca dan memahami divine kretek yang dikembangkan Dr. Gretha Zahar dan Prof. Sutiman B. Sumitro, bahwa rokok pun bisa menjadi terapi untuk berbagai penyakit? Ini penting, supaya para pegiat anti tembakau tidak menjadi kelompok yang egois dengan tidak menerima kebenaran dari orang lain.
(Adv)