Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso menyita perhatian publik. Tak terkecuali tiga hakimnya, yakni Kisworo, Binsar Gultom, dan Partahi Tulus Hutapea.
Ketiganya telah memimpin persidangan kasus pembunuhan dengan kopi sianida hingga 22 kali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Di tengah keseruan proses persidangan, sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi Advokat Muda Indonesia (AAMI) dan Perlindungan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) melaporkan tiga hakim tersebut ke Komisi Yudisial (KY).
Advertisement
Ketua AAMI Rizky Sianipar mengatakan, ada beberapa pelanggaran kode etik dan pelanggaran pedoman perilaku hakim yang dilakukan majelis hakim di sidang Jessica. Pelanggaran tersebut dilakukan para hakim dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Rizky menuturkan, Pasal 5 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan hakim harus berlaku adil dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang.
"Dalam persidangan aquo, hakim menghalangi terdakwa melakukan simulasi kopi, tapi di lain pihak hakim hakim memberikan kebebasan sebebas-bebasnya kepada JPU untuk melakukan pembuktian," ujar Rizky di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta Pusat, Senin (19/9/2016).
Selanjutnya, kata dia, ketiga hakim juga melanggar Pasal 5 ayat (2) huruf a tentang menghormati azas praduga tak bersalah.
Pada persidangan tersebut, dia menilai hakim terlalu menyimpulkan Mirna tewas akibat minum kopi. Padahal menurutnya, pembuktian belum selesai dan tidak ada fakta yang menimbulkan hal tersebut.
"Azas praduga tak bersalah yang dilanggar itu bahwa hakim berkata tidak perlu melihat, tidak perlu ada saksi untuk menetapkan tersangka, contoh perbandingannya kasus pembunuhan anak di Bogor. Nah hakim itu menjawab pembunuhan itu, kami hukum seumur hidup dan hukuman itu diterima, dan ini apakah akan seperti ini nanti," tutur Rizky.
Sementara itu, Anggota PBHI Simon Fernando Tambunan mengatakan, majelis hakim yang memimpin sidang kerap melakukan intimidasi. Hakim juga beberapa kali mengarahkan jawaban ahli.
Simon mencontohkan, saat itu, majelis hakim melakukan tanya jawab dengan ahli yang dihadirkan. Namun hakim Binsar tidak puas dengan jawaban yang diberikan ahli. Binsar lantas berkata 'tidak boleh tapi' yang terkesan mengintimidasi jawaban ahli.
"Seharusnya ahli kan tidak boleh dibantah keterangannya. Saksi ahli ketika memberi keterangan sesuai dengan kemampuannya harus dengan argumen, bukan iya dan tidak, itulah yang harus diakukan," kata Simon.
Dia menegaskan, pihaknya tidak sembarangan melaporkan hakim ke KY. Laporan tersebut ditujukan untuk ketiga hakim yang berperkara. Dia ingin ‎laporan tersebut menjadi pembelajaran, agar ke depan persidangan semakin baik.
"Hakim semestinya dapat memimpin persidangan, termasuk anggota-anggota, sehingga kemudian persidangan dapat berjalan dengan berwibawa, sakral," ujar Simon.