Liputan6.com, Jakarta - Kubu Jessica Kumala Wongso menghadirkan ahli psikologi Universitas Indonesia, Dewi Taviana Walida Haroen, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Keterangan Dewi tentunya untuk mematahkan keterangan ahli psikologi klinis sebelumnya yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Antonia Ratih Andjayani Ibrahim atau lebih dikenal dengan Ratih Ibrahim. Baik Dewi dan Ratih, keduanya berasal dari Universitas Indonesia (UI).
Baca Juga
Namun, perbedaan mencolok yang dilakukan keduanya adalah dalam melakukan observasi objek yang diteliti. Ratih melakukan dua kali pemeriksaan psikologis saat mendampingi kriminolog Ronny Nitibaskara di Polda Metro Jaya dan terakhir pemeriksaan dilakukan dilakukan dirinya sendiri bersama Jessica.
Advertisement
Sementara Dewi lebih menjabarkan hal umum yang dilakukan seorang psikologi klinis melalui teori dan literasi psikologi dan Berita Acara Pemeriksaan. Sementara observasi tidak dilakukan terhadap kejiwaan Jessica Kumala Wongso.
Psikolog lain yang dihadirkan jaksa adalah psikolog Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono.
Berikut beberapa keterangan para ahli kedua kubu tentang psikologi Jessica seperti dirangkum Liputan6.com hingga persidangan ke-22.
Antonia Ratih Andjayani Ibrahim
Cerdas dan Mampu Memodifikasi Perilaku
Ratih menilai Jessica memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Ini dilihat dari jawaban yang diberikan Jessica dari setiap pertanyaan-pertanyaan kritis yang diajukan Ratih.
Jessica juga dinilai sebagai sosok yang mampu memodifikasi perilakunya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang ingin dibangunnya. Untuk dapat mewujudkan perilaku ini, kata Ratih, dibutuhkan tingkat inteligensi yang tinggi.
"Seseorang dengan kapasitas tertentu memiliki daya untuk memodifikasi perilaku dan membangun kondisi-kondisi yang ingin dikondisikan. Butuh kapasitas yang dibutuhkan, salah satunya inteligensi. Ketajaman untuk beranalisis dan memprediksi dari perilaku-perilaku yang dikondisikannya," kata dia.
"Yang bersangkutan (Jessica) sangat cerdas. Ia mampu secara tegas dan cepat menjawab apa pun yang diberikan secara kritis, dan jawabannya benar," Ratih menambahkan.
Ratih mengacungi jempol kepada Jessica atas respons kalem dan tenang Jessica tersebut. "Bagaimana dia menampilkan dirinya justru sangat luar biasa tenang dan itu mengagumkan. Di bawah kondisi stres, dia tampak sangat tenang," beber Ratih.
Tetapi, kecerdasan dan kesempurnaan jawaban Jessica terhadap tim psikolog, oleh Ratih, justru menjadi sebuah pertanyaan besar. Pasalnya, jika orang pada umumnya berada di posisi yang sama dengan Jessica, orang tersebut sesekali pasti akan mengeluarkan gerak-gerik atau tutur kata yang mendeskripsikan kegelisahannya.
"Biasanya orang di bawah tekanan besar dan di kantor polisi akan ada kegelisahan, tidak tenang. Tapi yang bersangkutan (Jessica) sangat tenang. Ini menjadi tidak biasa," tegas Ratih.
Gelisah Sebelum Mirna Datang
Ratih menangkap sikap tidak tenang Jessica Kumala Wongso selama berada di meja nomor 54, Kafe Olivier. Ketidaktenangan Jessica terlihat saat tiga minuman yang dipesannya, es kopi Vietnam, Zahserac, Old Fashion, sudah tersaji di meja.
Ada gerakan-gerakan tubuh yang menurut Ratih tidak umum dilakukan seseorang ketika sedang menunggu kedatangan temannya di sebuah tempat makan.
"Pukul 16.30, Jessica menegok ke sisi bawah, terlihat pergerakan tangan Jessica, lalu badannya mendayung ke depan, lalu Jessica seperti memindahkan sesuatu ke atas meja. Perilaku itu tidak umum ditampilkan ketika seseorang sedang di kafe, menunggu teman tanpa atensi apapun," kata dia.
Berdasarkan gelagat Jessica yang terekam CCTV Kafe Olivier pada 6 Januari 2016, Ratih menyimpulkan ada rasa gelisah di benak putri bungsu dari Imelda dan Gunardi Wongso itu. Namun kegelisahan Jessica hilang setelah ia bertemu Mirna dan Hanie.
Ratih berujar, perilaku Jessica akan wajar dalam konteks sedang menunggu teman di kafe jika ia sibuk memainkan ponselnya. Namun hal itu tak tampak di rekaman CCTV.
"Kalau hanya dari observasi, kita bisa menyimpulkan Jessica tidak wajar. Tapi apa yang bisa membuat dia gelisah, tidak relaks, itu harus digali lagi. Karena saat Mirna datang, perilakunya kembali biasa," ujar Ratih.
"Jessica wajar tampak gelisah menunggu Mirna kalau konteksnya sudah lama enggak ketemu. Sibuk menghubungi temannya untuk tanya sudah di mana. Apalagi jika janjiannya waktunya terbatas. Apalagi kalau yang bersangkutan sudah memesan minuman, pasti dimonitor kawannya di mana, supaya nanti hidangannya bisa dinikmati bersama. Tapi itu tidak terlihat di CCTV," sambung Ratih.
Advertisement
Dewi Taviana Walida Haroen
 Tidak Netral dan Hasil Bias
Dewi Taviana dalam sidang kasus pembunuhan Mirna Salihin menyinggung soal keabsahan pemeriksaan psikologi Jessica saat menjadi tersangka di kepolisian.
"Tempat pemeriksaan harus netral, di kantor polisi di staf siapa, itu enggak benar," kata Dewi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin 19 September 2016.
"Bagaimana mungkin orang nyaman dengan kondisi tertekan," Dewi menambahkan.
Dampak dari situasi tertekan dalam pemeriksaan psikologi tersebut, maka hasil observasi yang dihasilkan tidaklah maksimal. "Hasilnya bias. Tidak bisa dipertanggungjawabkan," Dewi menerangkan.
Tas di Atas Meja
Analisis awal yang dilakukan Dewi adalah mengenai perilaku Jessica yang meletakkan tas kertas atau paper bag di atas meja saat berada di Kafe Olivier, Grand Indonesia, 6 Januari 2016 lalu. Bagi beberapa ahli yang dihadirkan JPU, perilaku tersebut tidak lazim. Jessica dinilai berperilaku seperti menyembunyikan sesuatu atau membentengi diri.
Berbeda dengan Dewi yang justru menganggap perilaku Jessica itu wajar. Sebab kebiasaan seseorang tidak bisa disamaratakan ‎dengan kebiasaan orang lain secara umum.
"Contohnya saya pribadi Pak, bapak lihat, tas saya letakkan di mana? Kenapa saya letakkan di sini kira-kira?" tanya Dewi sambil menunjukkan tasnya yang ditaruh di atas meja dalam persidangan, di PN Jakarta Pusat.
Dewi menjelaskan, beberapa orang memiliki kebiasaan meletakkan tas atau barangnya di atas meja, sekali pun ada tempat lain. Perilaku itu didasari sejumlah alasan, antara lain, agar bisa dilihat orang lain alias pamer, takut hilang atau diambil orang, dan sebagainya.
Menurut Dewi, pemeriksaan yang dilakukan Ratih terhadap Jessica hanya berdasarkan pada observasi dan pengamatan umum. Padahal ada tiga metode yang perlu dilakukan dalam rangka assessment seseorang.
"Sehingga, apabila yang dilakukan itu hanya observasi itu tidak cukup," jelas dia.
Tidak Sinkron
Dewi juga mengkritisi psikolog Ratih. Dia menyebut Ratih tidak konsisten dalam menuangkan hasil penelitiannya.
Dalam kesimpulannya, Ratih menyatakan, Jessica sehat, waras, dan cerdas. Namun Ratih juga menyatakan bahwa Jessica memiliki gangguan mental.
"Ketidaksinkronan tujuan dan kesimpulan berarti pemeriksaan tidak bisa dipertanggungjawabkan," Dewi mengungkapkan.
Keterangan para ahli tersebut diharapkan dapat membuat terang Majelis Hakim dalam mengetuk palu persidangan perkara pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin.
Â