Sukses

Panja Karhutla Terima Masukan Pansus DPRD dan LSM Riau

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Benny K Harman di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta Panitia Kerja (Panja) Kebakaran Hutan dan Lahan Komisi III DPR RI menerima masukan dari Pansus (panitia khusus) Kebakaran hutan DPRD Riau, dan sejumlah LSM pemerhati lingkungan seperti Walhi, ICEL dan Jikalahari terkait terbitnya SP3 (surat penghentian penyidikan perkara) atas kasus Kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.

“Ada beberapa temuan yang disampaikan dalam RDP tadi, pertama terkait permasalahan hukum, terbitnya SP3. Ada permasalahan dalam penegakan hokum disini. Mereka meminta untuk ditindaklanjuti, termasuk putusan yang telah berkekuatan hokum tetap,”ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Benny K Harman di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan Jakarta, Selasa (20/9) kemarin.

Pansus Karhutla DPRD Riau lanjut Benny, mengungkapkan kerugian negara akibat praktek yang dilakukan oleh perusahaan tersangka pembakaran hutan. Tidak hanya kerugian fisik, seperti bencana asap yang sempat menelan korban jiwa, juga kerugian dalam sektor ekonomi.

“Coba bayangkan, ada perusahaan kelapa sawit yang tidak memiliki perkebunan, dan sekian juta hektar lahan yang tidak ada ijin penanaman sawit, lalu sawitnya dijual tidak ada pajaknya. Coba dihitung berapa kerugian negara disitu,”jelas Benny.

Sementara itu terkait masukan dari beberapa LSM pemerhati lingkungan adalah adanya perusahaan besar yang menjadi tersangka penerima SP3 dari kepolisian, tapi setiap tahun melakukan hal yang sama (tersangka pembakaran hutan dan lahan), namun selalu lolos dalam kasus tersebut.

Tidak hanya itu, Panja Karhutla Komisi III DPR juga menerima masukan dalam sisi legislasi dan regulasi. Dimana menurut Henri Subagyo dari ICEL ada beberapa regulasi yang menjadi celah bagi perusahaan untuk melakukan pembakaran hutan dan lahan.

Salah satunya peraturan menteri pertanian (Permentan) No,11 Tahun 2012 tentang ketentuan yang membolehkan perusahaan kelapa sawit hanya memiliki dua puluh persen tandan buah dari lahannya sendiri. sementara sisanya yang berjumlah delapan puluh persen bisa diambil dari lahan masyarakat kecil. Kondisi ini memunculkan celah bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan untuk membuka lahan baru.

(*)