Liputan6.com, Bandung: Tanaman kopi di Indonesia masih menjadi pilihan komoditas bagi beberapa pemilik perkebunan. Termasuk juga bagi petani kecil. Semua itu tak lepas dari sejarah Indonesia. Titik tolak penyebaran kopi secara luas adalah Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa pada 1830. Peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch merupakan bentuk eksploitasi pemerintah kolonial Belanda terhadap beberapa wilayah Indonesia.
Kala itu seluruh wilayah pertanian diwajibkan menanam komoditi ekspor. Mulai dari kopi, tebu, bahkan karet. Tanam paksa ini adalah bentuk pajak kepada pemerintah kolonial. Operasionalnya adalah desa-desa di Jawa harus membayar utang sewa tanah kepada pemerintah kolonial.
Pada sistem tanam paksa, pemilik lahan harus menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami. Sedangkan bagi yang tak memiliki lahan diwajibkan menyisihkan sebagian harinya bekerja di perkebunan.
Seiring jalannya waktu, pabrik pengolahan dibangun di berbagai daerah. Olahan hasil bumi kemudian diangkut untuk diekspor menggunakan berbagai sarana. Batavia atau dikenal Jayakarta atau Sunda Kelapa, kala itu menjadi basis perdagangan dan militer pemerintah kolonial. Dan seluruh hasil tanam paksa harus dikirim ke kota ini.
Pada 1860-an, kegiatan ekonomi di kota ini mengisi lebih dari 70 persen kas kerajaan Belanda. Selang beberapa waktu berlalu. Peran Batavia sebagai pelabuhan ekspor hasil tanam paksa berkurang sejak dihapusnya Cultuurstelsel pada 1870.
Mengenai proses pengolahan tanaman kopi. Penjemuran selama tujuh jam adalah proses awal untuk mengurangi kadar air pada biji kopi. Biji kopi sengaja disimpan beberapa tahun dari lima hingga belasan tahun. Tujuannya adalah menurunkan kadar kafein. Rendahnya kafein dipercaya mengurangi efek yang merugikan dari mengonsumsi kopi.
Perkebunan kopi milik pemerintah maupun rakyat dalam skala kecil dari tahun ke tahun bertambah. Kebesaran nama kopi Jawa pun coba dibangkitkan kembali. Di daerah Ciwidey, Jabar, perkebunan kopi dirintis masyarakat sejak empat tahun silam. Dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut, Ciwidey memiliki kondisi yang cocok bagi tanaman kopi arabika.
Perawatan rutin perlu dilakukan untuk mencegah hama. Ulat penggerek batang misalnya, adalah salah satu hama pada tanaman kopi.
Pada tahun pertama, satu hektare perkebunan bisa menghasilkan dua ton buah kopi segar. Jumlah ini akan meningkat dua hingga tiga kali lipat pada musim panen berikutnya. Biji-biji kopi hasil perkebunan rakyat di Ciwidey diolah secara sederhana. Nantinya biji-biji kopi kering ini akan dikirimkan ke sejumlah pembeli dengan harga sekitar Rp 20 ribu per kilogram.
Nilai kopi sebagai komoditi ekspor dengan harga cenderung stabil di pasaran internasional, menginspirasi Nandang. Ia memulai perkebunan kopi di kawasan yang sebelumnya lebih dikenal kawasan perkebunan teh.
Indonesia juga memiliki satu jenis kopi spesifik yang dinamakan kopi luwak. Saat luwak, sejenis musang khas Indonesia, memakan buah kopi matang, biji kopi ikut ditelan namun tak tercerna. Biji kopi ini nantinya dikeluarkan kembali yang dikumpulkan untuk diproses menjadi kopi luwak.
Di pasar kopi dunia, kopi luwak memiliki harga sangat tinggi. Setiap kilogramnya bernilai antara US$ 100 hingga US$ 350. Kopi luwak juga sangat disukai warga AS. Mereka bahkan bersedia membayar mahal untuk kopi khas Indonesia ini [baca: Kopi Luwak Digemari Warga AS].
 Bubuk kopi yang akan dipasarkan terlebih dahulu melewati tahap uji coba cita rasa yang disebut cup test. Pengujian ini hanya bisa dilakukan tenaga ahli yang memiliki sertifikasi dari Badan Penelitian Kopi Berstandar Internasional.
Pada prinsipnya, pengujian dengan metode ini mengandalkan kemampuan lidah untuk mengenali lima rasa dasar. Yakni asam, manis, pahit, asin, dan umami atau gurih. Satu sendok kopi yang diberi air, disedot secara cepat agar kelima rasa dasar tadi dapat dirasakan serentak oleh saraf perasa di lidah.
Cup tester nantinya dapat mengidentifikasi rasa dasar mana yang lebih menonjol, dari jenis kopi tertentu yang diuji. Proses cup test ini memiliki nilai penting dalam menentukan mutu kopi luwak dan jenis kopi lainnya. Sebab secara fisik dan kasat mata, kopi luwak maupun kopi lainnya terlihat tak berbeda.
Hampir di setiap penjuru kota besar di Indonesia, kafe atau kedai kopi mengandalkan pasokan bahan baku dari dalam negeri sendiri. Kafe-kafe ini mampu bersaing dengan gerai lain yang menonjolkan citra asing atau luar negeri.(AIS)
Kala itu seluruh wilayah pertanian diwajibkan menanam komoditi ekspor. Mulai dari kopi, tebu, bahkan karet. Tanam paksa ini adalah bentuk pajak kepada pemerintah kolonial. Operasionalnya adalah desa-desa di Jawa harus membayar utang sewa tanah kepada pemerintah kolonial.
Pada sistem tanam paksa, pemilik lahan harus menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami. Sedangkan bagi yang tak memiliki lahan diwajibkan menyisihkan sebagian harinya bekerja di perkebunan.
Seiring jalannya waktu, pabrik pengolahan dibangun di berbagai daerah. Olahan hasil bumi kemudian diangkut untuk diekspor menggunakan berbagai sarana. Batavia atau dikenal Jayakarta atau Sunda Kelapa, kala itu menjadi basis perdagangan dan militer pemerintah kolonial. Dan seluruh hasil tanam paksa harus dikirim ke kota ini.
Pada 1860-an, kegiatan ekonomi di kota ini mengisi lebih dari 70 persen kas kerajaan Belanda. Selang beberapa waktu berlalu. Peran Batavia sebagai pelabuhan ekspor hasil tanam paksa berkurang sejak dihapusnya Cultuurstelsel pada 1870.
Mengenai proses pengolahan tanaman kopi. Penjemuran selama tujuh jam adalah proses awal untuk mengurangi kadar air pada biji kopi. Biji kopi sengaja disimpan beberapa tahun dari lima hingga belasan tahun. Tujuannya adalah menurunkan kadar kafein. Rendahnya kafein dipercaya mengurangi efek yang merugikan dari mengonsumsi kopi.
Perkebunan kopi milik pemerintah maupun rakyat dalam skala kecil dari tahun ke tahun bertambah. Kebesaran nama kopi Jawa pun coba dibangkitkan kembali. Di daerah Ciwidey, Jabar, perkebunan kopi dirintis masyarakat sejak empat tahun silam. Dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut, Ciwidey memiliki kondisi yang cocok bagi tanaman kopi arabika.
Perawatan rutin perlu dilakukan untuk mencegah hama. Ulat penggerek batang misalnya, adalah salah satu hama pada tanaman kopi.
Pada tahun pertama, satu hektare perkebunan bisa menghasilkan dua ton buah kopi segar. Jumlah ini akan meningkat dua hingga tiga kali lipat pada musim panen berikutnya. Biji-biji kopi hasil perkebunan rakyat di Ciwidey diolah secara sederhana. Nantinya biji-biji kopi kering ini akan dikirimkan ke sejumlah pembeli dengan harga sekitar Rp 20 ribu per kilogram.
Nilai kopi sebagai komoditi ekspor dengan harga cenderung stabil di pasaran internasional, menginspirasi Nandang. Ia memulai perkebunan kopi di kawasan yang sebelumnya lebih dikenal kawasan perkebunan teh.
Indonesia juga memiliki satu jenis kopi spesifik yang dinamakan kopi luwak. Saat luwak, sejenis musang khas Indonesia, memakan buah kopi matang, biji kopi ikut ditelan namun tak tercerna. Biji kopi ini nantinya dikeluarkan kembali yang dikumpulkan untuk diproses menjadi kopi luwak.
Di pasar kopi dunia, kopi luwak memiliki harga sangat tinggi. Setiap kilogramnya bernilai antara US$ 100 hingga US$ 350. Kopi luwak juga sangat disukai warga AS. Mereka bahkan bersedia membayar mahal untuk kopi khas Indonesia ini [baca: Kopi Luwak Digemari Warga AS].
 Bubuk kopi yang akan dipasarkan terlebih dahulu melewati tahap uji coba cita rasa yang disebut cup test. Pengujian ini hanya bisa dilakukan tenaga ahli yang memiliki sertifikasi dari Badan Penelitian Kopi Berstandar Internasional.
Pada prinsipnya, pengujian dengan metode ini mengandalkan kemampuan lidah untuk mengenali lima rasa dasar. Yakni asam, manis, pahit, asin, dan umami atau gurih. Satu sendok kopi yang diberi air, disedot secara cepat agar kelima rasa dasar tadi dapat dirasakan serentak oleh saraf perasa di lidah.
Cup tester nantinya dapat mengidentifikasi rasa dasar mana yang lebih menonjol, dari jenis kopi tertentu yang diuji. Proses cup test ini memiliki nilai penting dalam menentukan mutu kopi luwak dan jenis kopi lainnya. Sebab secara fisik dan kasat mata, kopi luwak maupun kopi lainnya terlihat tak berbeda.
Hampir di setiap penjuru kota besar di Indonesia, kafe atau kedai kopi mengandalkan pasokan bahan baku dari dalam negeri sendiri. Kafe-kafe ini mampu bersaing dengan gerai lain yang menonjolkan citra asing atau luar negeri.(AIS)