Sukses

Ahli Pidana Kubu Jessica: Autopsi Jasad Mirna Tak Sesuai Prosedur

Polri sudah mengatur mekanisme autopsi untuk kasus keracunan dalam Perkap No 10 Tahun 2009.

Liputan6.com, Jakarta - Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. Mudzakir, menyatakan bahwa pemeriksaan jasad korban pembunuhan dengan kopi sianida, Wayan Mirna Salihin, tidak sesuai prosedur.

Prosedur yang dimaksudkan Mudzakir adalah Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 pasal 59 ayat 2, di mana di situ mengatur terkait pemeriksaan korban mati/meninggal. Di sana tertera peraturan harus diambilnya beberapa organ tubuh untuk keperluan pemeriksaan.

"Kalau prosesnya tidak standar, maka hasilnya pun tidak akan standar ya. Tanpa hal itu (yang telah diatur di Peraturan Kepolisian), tidak bisa menjamin kematian disebabkan karena keracunan," terang Mudzakkir di PN Jakarta Pusat, Senin (26/9/2016).

Pernyataan Mudzakir itu berawal saat Otto Hasibuan, pengacara terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso, mempertanyakan keabsahan proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap jasad Mirna. Karena, pemeriksaan dilakukan petugas dengan tidak menyeluruh.

Dalam peraturan tersebut diatur bahwa orang yang meninggal karena diracun wajib diperiksa 6 organ tubuh dan 2 cairan, di antaranya lambung beserta isi (100gr) hati (100 gr), ginjal (100 gr), jantung (100 gr), tissu adipose (jaringan lemak bawah perut) (100gr), serta urine 25ml, darah 10ml.

Mudzakir merupakan ahli terakhir yang dihadirkan pihak Jessica dalam persidangan kasus kopi sianida ke-25 hari ini.

Pada Rabu 8 Agustus 2016, perdebatan sengit antara pengacara Jessica dengan dokter forensik RS Polri terjadi. Pasalnya, kubu Jessica mempertanyakan standar operasional autopsi yang tidak menyeluruh. Dokter Slamet Poernomo yang saat itu bersaksi mengatakan, autopsi hanya dilakukan terhadap isi lambung, urine, hati, dan empedu jasad Mirna.

"Apakah jantung, kepala juga diperiksa?" tanya Otto kepada saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kemayoran, Jakarta, saat itu.

"Itu prosedur autopsi, karena autopsi dilakukan dari kepala sampai bawah untuk mengetahui penyebab kematian dari seseorang," jawab dr Slamet.

Dia menambahkan, meski standar autopsi demikian, namun ada pengecualian autopsi tidak dilakukan menyeluruh.

"Bahwa pada kasus keracunan, autopsi adalah satu bagian dari rangkaian yang lima tadi (gejala keracunan)," terang Slamet.

"Apakah ada kemungkinan lain mati karena jantung?" Otto bertanya kembali pada ahli.

"Kalau sebab-sebab lain bukan karena sianida tidak sespektakuler ini. (Sakit) jantung ridak pernah mengalami perlukaan di bibir. Jantung tidak kejang-kejang, tidak kepanasan," jelas dr Slamet.