Liputan6.com, Jakarta Jaksa Agung HM Prasetyo menyayangkan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hukum acara pidana baru-baru ini. Hal itu disampaikan Prasetyo pada saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI.
Beberapa putusan tersebut antara lain soal praperadilan, aturan penyadapan, dan pemberian grasi.
"Kejaksaan Agung dalam menegakkan hukum menemukan kendala yang pertama adalah dinamika peraturan perundangan. Yang paling menonjol adalah putusan MK yang memperluas objek praperadilan, penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan," ujar Prasetyo di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Senin 26 September 2016.
Persoalan pertama, kata Prasetyo, putusan MK berkenaan dengan bolehnya seseorang mengajukan praperadilan.
"Sejak saat itu, tren setelah penetapan tersangka mereka serta-merta melakukan praperadilan. Kemudian putusan MK yang boleh melakukan berkali-kali. Ini menjadi potensi timbulnya ketidakpastian hukum," imbuh dia.
Kemudian Prasetyo mengungkapkan kekecewaannya pada putusan MK soal pemberian grasi yang kini tidak dibatasi waktu. Padahal, Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan grasi hanya bisa diajukan setahun setelah mendapatkan keputusan hukum tetap.
Baca Juga
"Ini yang menimbulkan implikasi terkait kiat antisipasi yang dilakukan menjadi bias. Jadi tidak ada pembatasan untuk mengajukan grasi, padahal sebelumnya diatur setahun," papar dia.
Selanjutnya soal penyadapan, Prasetyo juga mengaku kecewa terkait putusan MK yang menyebut rekaman elektronik tidak bisa dijadikan alat bukti kalau tidak diminta oleh para penegak hukum.
"Dikabulkannya gugatan tentang keabsahan dari informasi elektronik atau dokumen dalam bentuk rekaman dan sebagainya di mana dinyatakan di sana bahwa bukti rekaman baru dinyatakan sah kalau diminta resmi oleh jaksa, polisi, atau penegak hukum lainnya. Ini akan menimbulkan implikasi kesulitan bagi pemutus hukum," ucap Prasetyo.
Begitupun, dengan rekaman CCTV yang tidak bisa digunakan sebagai alat bukti sah.
"Alat elektronik itu kan petunjuk yang sangat bermanfaat untuk proses penegakan hukum," sambung dia.
Kemudian berikutnya, lanjut Prasetyo, tentang pasal permufakatan jahat. Dia mengaku kecewa dengan putusan MK yang menyempitkan kriteria seseorang yang dianggap melakukan permufakatan jahat.
"Dinyatakan pemufakatan jahat jika ada dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama untuk melakukan tindak pidana. Dengan adanya putusan MK soal ini perlunya kerja keras kita untuk memanfaatkan bukti-bukti yang ada membutuhkan perjuangan," tandas Prasetyo.
Beberapa Putusan MK yang diprotes Prasetyo itu terkait kasus yang tengah ditangani Kejaksaan Agung yang dikenal dengan kasus 'Papa Minta Saham'. Kasus itu menyeret Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.
Dengan dikabulkan gugatan UU ITE tersebut, rekaman penyadapan pembicaraan terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia dianggap tidak sah. Sehingga rekaman tersebut tidak bisa dijadikan alat bukti Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait penyelidikan perkara kasus 'Papa Minta Saham'. Begitu pula pengertian 'pemufakatan jahat' yang diubah oleh MK.
Advertisement