Liputan6.com, Jakarta - Eks Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja dihadirkan menjadi saksi dengan terdakwa mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi dalam kasus dugaan suap pembahasan Raperda Reklamasi. Dalam sidang ini, Ariesman membeberkan kembali soal tambahan kontribusi 15 persen yang dibebankan Pemprov DKi kepada perusahaan pengembang.
Ariesman mengatakan, perusahaannya menyetor Rp 1,6 triliun kepada Pemprov DKI. Uang sebanyak itu adalah bagian dari tambahan kontribusi untuk PT Muara Wisesa Samudra dan PT Jaladri Kartika Ekapakci, dua anak perusahaan PT APL.
"Ada tambahan kontribusi dari APL Rp 1,6 triliun. Itu di luar kewajiban dan kontribusi 5 persen," ucap Ariesman dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 26 September 2016.
Advertisement
Namun begitu, Ariesman mengaku tak tahu persis dan detail tambahan kontribusi yang dibebankan Pemprov DKI. Yang jelas Rp 1,6 triliun bagian dari tambahan kontribusi yang dibayar di awal. Pun begitu, dia juga tidak tahu, apakah besaran tambahan kontribusi tersebut juga sudah dituangkan ke dalam izin-izin yang dikantongi PT Muara Wisesa dan PT Jaladri Kartika Ekapakci atau belum.
"Saya tak ingat pastinya. Izin ini izin lama, saya tidak hafal pastinya. Tapi saya pernah dengar dari pendahulu-pendahulu, bahwa ada semacam setoran ke Pemda DKI," ujar Ariesman.
Tambahan kontribusi menjadi bagian menarik dalam pengusutan kasus dugaan suap pembahasan Raperda Reklamasi ini. KPK pun pernah mempertanyakan asal muasal tambahan kontribusi itu. Apakah tambahan kontribusi itu sudah ada payung hukumnya atau tidak dari Pemprov DKI melalui Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama atau Ahok.
Ketua KPK, Agus Rahardjo belum lama ini pernah mengatakan, kalau Pemprov DKI tak bisa sembarangan meminta para perusahaan pengembang reklamasi untuk membayar tambahan kontribusi tanpa ada dasar hukumnya. KPK menilai, tidak bisa tambahan kontribusi itu menggunakan suatu perjanjian yang hanya melibatkan dua pihak, seperti perjanjian antara Pemprov DKI dengan PT Manggala Kriya Yudha (MKY).
"Kalau dirasakan pengembang menikmati untung terlalu besar dan kompensasi perlu ditambah, harusnya dibuat dulu peraturan aerah (perda). Lah ini, perdanya belum ada, tapi tambahan kompensasi sudah diminta. (Tambahan) itu diwujudkan dalam bentuk jalan, rumah susun,dan lain-lain," ucap Agus.
Di samping juga, KPK turut mempertanyakan perihal tambahan kontribusi yang sudah dibayar di awal‎ yang tidak diklasifikasikan sebagai pemasukan ke kas daerah. Padahal, nominal pembayaran awal tambahan kontribusi itu sangat besar, sehingga berpotensi menjadi 'lubang' korupsi. Untuk itu, Agus menambahkan, KPK akan mendalami kejanggalan-kejanggalan terkait tambahan kontribusi ini.
"Pelaksanaan (tambahan kontribusi) juga off budget lagi. Kemudian tidak tercatat sebagai pemasukan di APBD. Ini memang agak kurang tepat. Ini yang sedang kita dalami," ujar Agus.
Sebelumnya, jaksa mendakwa Sanusi menerima suap Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman, Trinanda Prihantoro. Diduga suap Rp 2 miliar itu ditujukan dengan maksud, Sanusi selaku anggota DPRD DKI dan Ketua Komisi D DPRD DKI 2014-2019 dapat membantu percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).
Suap juga dimaksudkan agar Sanusi mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman selaku Presdir PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MSW). Tujuannya, agar PT MSW mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.
Atas perbuatan itu, Sanusi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Selain itu, jaksa juga mendakwa Sanusi dengan pencucian uang. Sanusi didakwa melakukan pencucian uang dengan membelanjakan atau membayarkan uang senilai Rp 45.287.833.733 (Rp 45 miliar lebih) untuk pembelian aset berupa tanah dan bangunan serta kendaraan bermotor. Tak cuma itu, Sanusi juga menyimpan uang US$ 10 ribu dalam brankas di lantai 1 rumahnya di Jalan Saidi I Nomor 23, Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Uang senilai Rp 45 miliar lebih itu didapat Sanusi dari para rekanan Dinas Tata Air Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang merupakan mitra kerja Komisi D DPRD DKI. Para rekanan Dinas Tata Air Pemprov DKI itu dimintai uang Sanusi terkait pelaksanaan proyek pekerjaan antara tahun 2012 sampai 2015.
Atas perbuatannya, jaksa mendakwa Mohamad Sanusi dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.