Sukses

Rieke Diah Pitaloka Luncurkan Buku Kekerasan Simbolik Negara, Harap Bisa Jadi Referensi Pemerintah

Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan (PDIP) Rieke Diah Pitaloka meluncurkan buku hasil desertasi di Dapertemen Ilmu Komunikasi FISIP UI dengan judul 'Kekerasan Simbolik Negara'.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan (PDIP) Rieke Diah Pitaloka meluncurkan buku hasil desertasi di Dapertemen Ilmu Komunikasi FISIP UI dengan judul 'Kekerasan Simbolik Negara'.

Buku tersebut membahas kekerasan yang dilakukan negara melalui data yang tidak menginformasikan kondisi dan kebutuhan riil warga, serta potensi riil perdesaan.

"Inilah poin penting yang dibahas dan saya tuangkan dengan bentuk menjadi buku dengan hasil analisis saya di tiga desa terkait persoalan data," ujar Rieke Diah Pitaloka di sela peluncuran buku di Auditorium Komunikasi FISIP Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat yang disampaikan melalui keterangan tertulis, Selasa (22/11/2023).

"Keseluruhan desertasi saya semuanya dituangkan dalam buku ini, yang merupakan deskripsi, analis dan interpretasi atas data dan pendetaan predesaan," sambungnya.

Rieke menjelaskan, ada pun desa yang menjadi fokus analisis desertasi di antaranya Desa Sibandang, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Desa Pantai Bakti, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dan Desa Tegalalang, serta Kabupaten Gianyar.

"Temuan penelitian dari tiga desa tersebut mendapati data yang direproduksi negara tidak mengintegrasikan antara data spasial dan numerik. Akibatnya, data tersebut sulit dikonfirmasi, diverifikasi, dan divalidasi," ucap dia.

Rieke menegaskan, data direproduksi institusi negara dengan pendekatan top down tidak melahirkan kesinambungan data.

"Inilah yang menyebabkan kualitas data negara tidak memenuhi prinsip-prinsip data yang aktual, akurat, dan relevan (pseudo data)," kata dia.

 

2 dari 3 halaman

Bisa Dijadikan Referensi Pemerintah

Namun begitu, menurut Rieke, data yang bermasalah tersebut tetap dianggap data yang memiliki legalitas sebagai basis data kebijakan pembangun karena prosesnya berpedoman pada aturan perundang-undangan.

Rieke mengatakan, hal itu disebut dengan kekerasan simbolik negara, kekerasan yang beroperasi dengan cara mengatur, memaksakan, bahkan bisa saja merekayasa pendataan.

"Hasil penelitian saya menunjukkan kebijakan rekonsiliasi dan the vicious circle kebijakan rekonolisasi yang mengkonfirmasikan terbuktinya hipotesis. Artinya, semakin kuat dosa kekerasan simbolik pada norma yuridis pendataan," terang dia.

Oleh karena itu, Rieke berharap, hasil desertasinya yang sudah menjadi buku ini dapat dijadikan referensi oleh pemerintah untuk membuat kebijakan pembangunan sistem kebijakan publik berdasarkan pendataan desa berbasis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi.

"Jika pemerintah melakukan hal tersebut sangat memungkinkan lebih banyak ruang untuk komunikasi dan partisipasi warga desa dalam melakukan pendataan," papar dia.

 

3 dari 3 halaman

Diharap Bisa Akhiri Kekerasan Simbolik Negara

Rieke juga berharap bukunya dapat mengakhiri kekerasan simbolik negara terhadap pedesaan yang beroperasi melalui norma yuridis pendetaan pedesaan.

Dia mengatakan, hasil desertasinya tersebut memperlihatkan bahwa data yang diproduksi dengan pendekatan buttom up sangat dibutuhkan untuk mengakhiri kebijakan rekonsiliasi menjadi kebijakan afirmatif negara.

"Kebijakan afirmatif ini merupakan implementasi amanat konstitusi untuk mencapai lima aspek kesejahteraan rakyat," kata dia.

"Kebijakan konstitusional bukan hanya tentang menyelamatkan triliunan uang rakyat di kas negara, kebijakan negara yang berbasis pada data pedesaan yang akurat dan aktual, sesungguhnya tentang nasib dan nyawa jutaan rakyat, ini yang saya tekankan dalam buku ini," tandas Rieke.

Â