Sukses

KPK Terus Dalami 'Rapat Setengah Kamar' Kasus Korupsi Jalan

Giliran KPK memeriksa Kepala Bagian Sekretariat Komisi V DPR Prima MB Nuwa.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Bagian Sekretariat Komisi V DPR RI, Prima MB Nuwa rampung diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka anggota Komisi V DPR, Andi Taufan Tiro dalam kasus dugaan suap proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara pada Kementerian PUPR.

Kelar diperiksa, Prima menutup-nutupi 'rapat setengah kamar' di Komisi V DPR. Rapat itu dilakukan oleh pimpinan Komisi V dan pihak Kementerian PUPR. Prima membantah ada 'rapat setengah kamar' yang diduga di dalamnya terjadi negosiasi terkait program aspirasi Komisi V.

"Enggak ada itu (rapat setengah kamar). Enggak ada," kata Prima usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 27 September 2016.

Dia mengaku, dalam pemeriksaan ini dirinya hanya dikorek keterangan terkait pemberkasan Andi Taufan berkenaan kasus ini.‎ "Saya hanya ditanya kenal atau enggak itu saja," ujar Prima.

Keterangan Prima soal 'rapat setengah kamar' itu tentu bertolak belakang. Sebab diketahui, kalau Prima merupakan orang yang ditugaskan untuk mengirim undangan 'rapat setengah kamar' melalui pesan singkat kepada pihak Kementerian PUPR.‎

Rapat yang berlangsung pada 14 September 2015 itu diduga untuk mematangkan program aspirasi proyek infrastruktur jalan di Maluku dan Maluku Utara.

'Rapat setengah kamar' muncul dalam persidangan Damayanti Wisnu Putranti. Eks anggota Fraksi PDIP itu menyebut ada rapat setengah kamar di Komisi V DPR. 'Rapat setengah kamar' itu merupakan rapat tertutup antara pimpinan Komisi V DPR dan Kementerian PUPR.

Pejabat Kementerian PUPR yang hadir di antaranya Sekretaris Jenderal, Taufik Widjojono, serta Kabiro Perencanaan dan Anggaran, Hasanuddin.

Kemudian pimpinan Komisi V yang hadir, antara lain Kapoksi Hanura Fauzih Amro, Kapoksi PKB Mohamad Toha, Wakil Ketua Komisi V Lazarus dan Michael Wattimena, serta Ketua Komisi V Fary Djemy Francis.

Damayanti menyebut ada dugaan 'jual beli' dana aspirasi dalam rapat tertutup tersebut. Dugaan 'jual beli' itu maksudnya, jika keinginan pimpinan Komisi V soal pagu anggaran dana aspirasi ditolak Kementerian PUPR, maka pimpinan Komisi V tidak akan menyetujui Rancangan APBN yang diajukan kementerian yang dipimpin ‎Basuki Hadimuljono tersebut.

Sebaliknya, jika diterima maka pimpinan Komisi V akan memuluskan RAPBN yang diajukan Kementerian PUPR.

Dari situ pula muncul dugaan jatah-jatah nilai pagu anggaran yang bisa dinegosiasikan Komisi V DPR kepada Kementerian PUPR untuk program aspirasi. Kata Damayanti, anggota Komisi V mendapat nilai pagu sebesar Rp 50 miliar, Kapoksi Komisi V dapat jatah Rp 100 miliar, sedangkan untuk pimpinan Komisi V sebanyak Rp 450 miliar.

Selain tiga anggota Komisi V DPR, yakni Damayanti, Budi Supriyanto, dan Andi Taufan Tiro, pada kasus ini KPK juga menjerat empat orang lainnya sebagai tersangka. Keempatnya adalah Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary, Abdul Khoir serta dua staf Damayanti, yakni Dessy A Edwin dan Julia Prasetyarini.

Selain Damayanti‎, Budi, Andi, Amran, Dessy, dan Julia, ada nama lain yang diduga turut menerima suap dari Khoir. Yakni eks anggota Komisi V yang kini duduk di Komisi III DPR, Musa Zainuddin.

Dalam vonis Damayanti Wisnu Putranti pun Majelis Hakim menetapkan 'rapat setengah kamar' sebagai fakta hukum. Dimana Majelis memerintahkan KPK untuk mengusut para pihak yang hadir dalam rapat informal di Komisi V tersebut.