Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam tengah mengajukan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Praperadilan itu diajukan berkaitan dengan status Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam persetujuan dan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).
Mengenai itu, pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai akan lebih baik KPK menghormati langkah hukum yang dilakukan Nur Alam tersebut. Terutama untuk tidak melakukan pemeriksaan saksi-saksi dulu saat ini sampai praperadilannya tuntas.
"Saya kira ada baiknya KPK menahan diri. Tidak melakukan pemeriksaan saksi-saksi dan lainnya dulu," ucap Margarito di Jakarta, Rabu, 28 September 2016.
Advertisement
Margarito menjelaskan, jauh masuk akal ketika KPK menghentikan dulu pemeriksaan saksi, karena praperadilan yang diajukan Nur Alam berkaitan dengan penetapan tersangka. Sebab, pemeriksaan saksi justru akan sia-sia, jika nantinya majelis hakim praperadilan memenangkan Nur Alam.
"Jadi cukup masuk akal. Karena kan yang dipraperadilkan itu penetapan tersangka dan lain-lain. Kalau misalkan praperadilan itu dikabulkan, maka pemeriksaan yang sekarang itu tidak ada faedahnya," ujar Margarito.
Sejauh ini, penyidik KPK masih melakukan pemanggilan terhadap saksi-saksi, meski di satu sisi pihak Nur Alam tengah menempuh jalur praperadilan.
Untuk informasi,‎ KPK resmi menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam persetujuan dan penerbitan SK IUP di wilayah Provinsi Sultra. Diduga, Gubernur Sultra 2008-2013 dan 2013-2018 itu melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku.
Selaku Gubernur Sultra, Nur Alam mengeluarkan tiga SK kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) dari tahun 2008-2014. Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi. Diduga ada kickback atau imbal jasa yang diterima Nur Alam dalam memberikan tiga SK tersebut.
Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
PT AHB diketahui merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.‎‎ Perusahaan tersebut melakukan kegiatan penambangan di bekas lahan konsensi PT Inco.
PT AHB juga diketahui berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Indonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hong Kong. Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang tersebut kemudian diduga mengirim uang sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hong Kong.