Sukses

Nyanyian Nazaruddin untuk Eks Mendagri Gamawan Fauzi

Nazaruddin ngotot KPK harus menetapkan tersangka pada Gamawan Fauzi.

Liputan6.com, Jakarta - Sudah lebih dari dua tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyidik kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP. Selama itu pula baru satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Sugiharto. Saksi pun silih berganti diperiksa KPK.

Terbaru, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin kembali diperiksa terkait kasus ini. Seperti biasa, Nazaruddin lagi-lagi "bernyanyi". "Nyanyiannya" pun menjurus ke nama-nama yang terlibat.‎ Kali ini, nama mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi terseret dalam kasus ini.

"Yang pasti Mendagrinya waktu itu (Gamawan Fauzi) harus tersangka," ucap Nazaruddin di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 26 September 2016.

Komentarnya begitu simpel. Dia menyebut, data-data‎ pun sudah diberikan ke KPK. Termasuk rincian dan detail lainnya seperti berapa uang yang diduga diterima Gamawan.

‎"KPK kan memberantas untuk gratifikasi, yang terima gratifikasi kan salah satunya, ya menterinya (waktu itu). KPK itu sudah punya datanya semua, Gamawan terima uang berapa," ucap Nazaruddin.

Eks Anggota DPR itu berharap, KPK mau menindaklanjuti 'nyanyiannya' ini. Apalagi, kini statusnya yang dia akui sebagai whistleblower, menjadikannya leluasa menunjuk orang-orang yang dia sebut terlibat korupsi.

"Sekarang yang pasti E-KTP sudah ditangani oleh KPK. Kita harus percaya dengan KPK," ujar suami Neneng Sri Wahyuni tersebut.

Beda Nazaruddin, eks Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil‎ (Dukcapil) Kemendagri, Irman justru enggan bernyanyi. Dia lebih memilih menutup mulutnya rapat-rapat terkait kasus ini.

Rampung diperiksa KPK kemarin malam, Irman hanya menjawab sekenanya. Misal, ‎soal siapa seharusnya yang bertanggung jawab proyek berujung korupsi ini. Pun begitu, soal kerugian negara dalam kasus ini, dia mengaku tidak tahu.

‎"Ya itu kan KPK yang tahu siapa yang tanggung jawab. Soal kerugian saya juga enggak mau komentar. Menurut saya kan sedang disidik, sekarang saya enggak mau komentar," ujar Irman.

Irman berujar, pada pemeriksaan kesekian kalinya oleh KPK ini, dia hanya ditanya mengenai tugasnya sebagai Dirjen Dukcapil. Termasuk soal peran dia selaku Dirjen Dukcapil dalam proyek pengadaan E-KTP ini.

"Saya yang buat SK (Surat Keputusan) untuk tim. Tim ini tugasnya apa saja. Saya hanya diminta keterangan mengenai SK tim-tim teknis yang lama, ini fungsinya apa. Itu saja," ucap dia.

"SK itu berdasarkan ketentuan. Kan ada SK yang keluar dari Dirjen, ada SK yang harus dikeluarkan KPA. Saya hanya mengeluarkan SK dari Dirjen," kata dia.

2 dari 3 halaman

Nyanyian Lain Nazaruddin

Dalam berbagai kesempatannya, Nazaruddin memang kerap 'bernyanyi' terkait kasus dugaan korupsi proyek E-KTP ini. Terpidana kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games Palembang, Sumatera Selatan ini juga pernah mengatakan Ketua Umum DPP Partai Golkar, Setya Novanto diduga terlibat dalam kasus ini.

Novanto disebut eks Bendahara Umum Partai Demokrat itu sebagai orang yang memberi perintah untuk mengatur proyek e-KTP dan pembagian fee ke sejumlah pihak.

Dalam proyek itu, lima perusahaan BUMN dan swasta menjadi konsorsium pemenangan tender pengadaan. Mereka adalah PT Len Industri, Perum Percetakan Negara (Peruri), PT Sucofindo (Persero), PT Quadra Solution, dan PT Sandipala Arthapura.

Dirut Sandipala Paulus Thanos pernah mengakui bila Novanto merupakan 'otak' dalam kasus korupsi E-KTP. Namun, Novanto sudah membantah keterlibatannya dalam kasus itu. Menurut Novanto, baik Nazaruddin ‎maupun Paulus Thanos hanya mengada-ada. Dia menegaskan, tak terlibat dalam kasus ini.

3 dari 3 halaman

Satu Tersangka


KPK telah mendalami kasus E-KTP pada tingkat penyidikan hingga dua tahun lebih. Pada kasus ini, KPK baru menetapkan satu tersangka, yakni Sugiharto.

Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri itu dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sugiharto juga berperan sebagai pejabat pembuat komitmen dalam sengkarut proyek senilai Rp 6 triliun itu. Dia diduga telah menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 2 triliun.

‎Adapun berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan pada semester I tahun 2012 silam, ditemukan adanya pelanggaran dalam pelaksanaan tender E-KTP, yakni melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pelanggaran tersebut telah berimbas kepada penghematan keuangan negara.

Dalam auditnya, BPK menemukan ketidakefektifan pemakaian anggaran dalam proyek ini sebanyak 16 item dengan nilai Rp 6,03 miliar, dan tiga item senilai Rp 605,84 juta. Kemudian terdapat lima item yang diindikasikan merugikan keuangan negara senilai Rp 36,41 miliar, dan potensi kerugian negara sebanyak tiga item senilai Rp 28,90 miliar.

Selain itu, BPK juga menemukan pelanggaran dalam proses pengadaan proyek E-KTP.‎ Dari hasil audit BPK juga disimpulkan bahwa konsorsium rekanan yang ditunjuk, yakni Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), tidak dapat memenuhi jumlah pencapaian e-KTP tahun 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak. Hal tersebut terjadi karena PNRI tidak berupaya memenuhi jumlah penerbitan e-KTP tahun 2011 sesuai kontrak.

Dalam audit BPK disebutkan juga terdapat 'kongkalikong' yang dilakukan antara PT PNRI dengan Panitia Pengadaan. Persekongkolan itu terjadi saat proses pelelangan, yakni ketika penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).