Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa Direktur Utama PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), Ahmad Nursiwan. Nama Nursiwan masuk dalam agenda pemeriksaan kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam dalam persetujuan dan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) pada 2008-2014.
"Ya jadi saksi untuk tersangka NA (Nur Alam)," ucap Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi, Jumat (30/9/2016).
Bukan kali pertama Nursiwan dipanggil penyidik KPK. Pada 15 September lalu dia juga sudah menghadap penyidik KPK untuk diperiksa.
Advertisement
Bersamaan dengan Nursiwan, KPK juga memanggil saksi lain dari pihak swasta, yakni Gino Valentino Budiman Riswantyo. Gino juga diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Nur Alam.
KPK menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam persetujuan dan penerbitan SK IUP di wilayah Provinsi Sultra.
Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013 dan 2013-2018 itu melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku.
Selaku Gubernur Sultra, Nur Alam mengeluarkan tiga SK kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) dari tahun 2008-2014. Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi. Diduga ada kickback atau imbal jasa yang diterima Nur Alam dalam memberikan tiga SK tersebut.
Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
PT AHB merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.‎‎ Perusahaan tersebut melakukan kegiatan penambangan di bekas lahan konsensi PT Inco.
PT AHB juga berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Indonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hong Kong. Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang tersebut kemudian diduga mengirim uang sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hong Kong.