Liputan6.com, Jakarta - Partai Golkar merapatkan barisan untuk menempatkan kembali Ketua Umum Setya Novanto atau Setnov menjadi Ketua DPR. Wakil Ketua Dewan Kehormatan Golkar Akbar Tandjung menilai hal tersebut tidak sepatutnya.
"Pada waktu itu kan MKD menyimpulkan yang bersangkutan (Setnov) melakukan pelanggaran sedang dan Fraksi Golkar bahkan menilai melakukan pelanggaran berat, oleh karena itu pegangan kita," ungkap Akbar di Jakarta, Jumat (30/9/3016).
Baca Juga
Ia juga mengingatkan, saat itu sebelum Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengumumkan sanksi, Setnov memutuskan mundur dari kursi Ketua DPR. Sebelum akhirnya dia terpilih menjadi Ketua Umum Golkar di Munaslub Golkar dan kembali berpengaruh seperti saat ini.
Advertisement
"Sebelum MKD mengambil keputusan, tindakan dia (Setnov) kan mundur. Berarti statusnya sudah mundur dari Ketua DPR," ujar Akbar.
Mantan Ketua DPR ini pun mengingatkan agar Partai Golkar menjadi partai politik (parpol) yang mendengarkan aspirasi masyarakat. Saat itu, kata Akbar, publik sudah melihat Novanto melakukan pelanggaran kode etik sebelum akhirnya MKD merehabilitasi namanya pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya pikir apa yang sudah dilakukan Setya Novanto menyatakan dia mundur dan MKD sudah menyatakan sebagai pelanggaran. Seorang pimpinan ya tentu harus dilihat, etis itu kan penting. Publik menilai pimpinan dari segi etis," Akbar menutup.
Sebelumnya, pada akhir 2015 lalu, seluruh hakim MKD memutus bahwa Setnov bersalah atas pengaturan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk meminta saham PT Freeport Indonesia. Sebelum putusan diketok, Setnov pun mengajukan pengunduran diri dari posisinya sebagai Ketua DPR RI.
Fraksi Partai Golkar mengirimkan surat khusus ke Pimpinan DPR. Isi surat tersebut meminta agar nama baik Ketua Umumnya, Setya Novanto dipulihkan atas kasus yang dikenal dengan sebutan 'Papa Minta Saham' PT Freeport Indonesia, yang membuat Novanto mundur dari Ketua DPR.
Dan pada Rabu 28 September 2016 kemarin, beredar surat MKD mengabulkan permintaan mantan Ketua DPR Setya Novanto untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah diajukan pada 19 September 2016 lalu.