Sukses

Cerita Pelarian Putri Bung Karno Saat Peristiwa G30S

Rachmawati, Sukma dan Guruh dilarikan secara sembunyi-sembunyi ke sebuah tempat yang dirahasiakan saat gerakan Dewan Jenderal terjadi.

Liputan6.com, Jakarta - 30 September menjadi tanggal yang diingat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Ditanggal itu, sampai di awal 1 Oktober 1965 di saat tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh karena dituding melakukan percobaan kudeta.

Saat itu situasi mencekam terjadi di ibu kota. Sambungan telepon diputus. Aparat keamanan memberlakukan jam malam. Orang-orang hanya boleh berlalu-lalang hingga pukul enam malam. Tak sembarang orang bisa keluar malam, bagi mereka yang keluar malam, harus mengetahui sebuah sandi yang diberlakukan oleh militer.

Mencekamnya malam setelah terjadinya Gerakan 30 September terjadi juga dirasakan oleh tiga anak Presiden RI pertama Soekarno, Rachmawati soekarnoputri, Sukma dan si bungsu, Guruh. Lewat sebuah buku berjudul 'Bapakku Ibukku; Dua Manusia yang Kucintai, Rachma bercerita bagaimana tegangnya saat dirinya berada di Istana, namun dalam suasana yang begitu berbeda.

Ketegangan bermula saat Rachma mendengar melalui siaran radio RRI saat itu yang menyiarkan berita adanya upaya penggagalan kudeta yang dilakukan sebuah kelompok yang menyebut dirinya 'Dewan Jenderal'.

"Betapa aku terkejut. sebuah coup (kudeta) telah terjadi. Bapakku telah diselamatkan sebuah upaya kudeta?," tanya Rachma saat itu.

Mendengar berita itu, Rachma mencoba mencari Soekarno. Namun, saat itu dia tak ada di Istana. Rachma pun cemas. Ia mencoba keluar dari ruangannya untuk mencari sang Ayah. Akan tetapi, saat hendak keluar kamar, ia dihadang oleh salah seorang pengawal Istana.

"Apa yang terjadi. Tanyaku kepada dia. Pengawal itu hanya bilang ada informasi semalam ada penculikan terhadap para jenderal," cerita Rachma.

Rachma pun semakin penasaran. Ia merasa ada yang tidak beres hari itu. Dia juga semakin khawatir dengan keselamatan sang ayah. Maklum saja, beberapa kali ayahnya pernah mengalami upaya percobaan pembunuhan di kawasan Cikini. Kejadian itu cukup membuat ia trauma.

"Bapak di ana? Hatiku menjerit. Kengerian luar biasa mencekamku. Perasaanku mengatakan situasi sangat gawat," kata Rachma.

Bukannya menuruti perintah pengawalnya untuk tidak keluar kamar, dia justru keluar dan berupaya terus mencari tahu. Rachma juga menuju salah satu ruang untuk menelpon kawannya, memberi tahu bahwa dirinya hari itu tak bisa masuk sekolah.

Saat hendak menelepon, ia kaget karena sambungan telepon telah diputus. Kecurigaan ada tak beres hari itu semakin membesar, belum lagi ia juga menyaksikan tak biasanya istana tempatnya tinggal dipenuhi oleh para tentara yang wajahnya tidak terlalu familiar baginya.

Di tengah ramainya pasukan yang bersiaga di istana. Pandangan Rachma tertuju pada salah seorang tentara berpangkat kapten. Ia tampak asing bagi Rachma. Gelagatnya juga dianggap aneh. Rachma pun mengintip dari pantry istana kalau tentara itu sempat bersitegang dengan para pengawalnya. Entah apa yang diributkan oleh mereka.

Menangkap situasi yang tak beres, salah seorang pengawal pribadi, bernama Mardi meminta Rachma untuk masuk ke kamarnya. "Belakangan aku tahu, nama tentara itu sebagai salah satu tokoh di gerakan 30 September (G30S)," kata dia.

Sekembalinya di kamar, ketegangan justru semakin menjadi. Di dalam kamar, dua adiknya, Sukma dan Guruh terlihat ketakutan. Tanda tanya bermunculan di pikiran Rachma. "Apa yang terjadi."

Sementara di depan kamar, telah berjaga para pengawal dengan posisi senjata terkokang. Mereka tampak siaga mengawasi dan membidik lokasi yang dianggap mencurigakan.

"Kami pun diminta untuk tidak keluar kamar. Pak Prihatin (ajudan anak presiden) meminta agar jangan membuka pintu bila ada yang mengetuk," kata dia.

Sebagai anak tertua saat itu, Rachma mencoba bertanya pada Prihatin mengenai kondisi mencekam itu. Namun tanya itu tidak  juga terjawab.

2 dari 2 halaman

Operasi Pelarian dari Istana

Saat situasi tegang terjadi, tiba-tiba suara helikopter hendak mendarat  menderu kencang. Rachma hafal betul, itu suara heli yang biasa ditumpangi ayahnya. Namun sayang, bukan sang ayah yang keluar dari heli, namun Komandan Resimen Cakrabirawa Brigjen Sabur.

"Betapa aku kecewa bapak tak muncul juga," kata dia.

Ia pun dalam hati kesal, mengapa dalam situasi seperti ini, tidak segera dibawa ke tempat yang dirasa lebih aman. Ia merasa, istana tempatnya tinggal layaknya sebuah kamp tawanan.

"Jangankan untuk keluar kamar, mengintip keluar saja dilarang," gerutu Rachma.

Di tengah kekesalannya dengan kondisi saat itu, tiba-tiba Prihatin masuk ke kamar. Ia meminta agar Rachma dan dua adiknya segera menyiapkan barang seperlunya untuk segera meninggalkan istana.

Mereka pun kemudian dikeluarkan dari istana secara sembunyi-sembunyi. Tanpa sepengetahuan pasukan cakrabirawa yang melakukan penjagaan ketat.

"Dengan mengendap-endap, seorang pengawal menjadi pemandu di depan, mengawasi keadaan sebelum kami ke depan, sementara di belakang juga ada yang menjaga," kata dia.

Lolos dari penjagaan, Rachma dan dua adiknya kemudian diarahkan masuk ke sebuah mobil yang telah menunggu di tangga samping istana. Pelan namun pasti, mobil mulai bergerak keluar istana.

"Aku melihat di luar istana tentara berjaga di mana-mana. Panser, meriam telah berjaga di mana-mana. Istana seolah dikepung rapat," kata dia.

Setelah menempuh perjalanan, mereka akhirnya tahu ke mana akan dibawa. Mereka rencananya akan diinapkan di kediaman sang ibu, Fatmawati di kawasan Kebayoran Baru. Namun, setibanya di sana, rumah tersebut kosong. Yang ada hanya seorang pembantu yang menjaga.

Ke Tempat Persembunyian Soekarno

Beberapa jam kemudian, datang serombongan tentara dengan mengendarai beberapa mobil jeep. Suara Letnan Suprapto, ajudan ayahnya terdengar dari mobil itu. Rupanya ia datang unutk menjemput Rachma dan dua adiknya untuk bertemu Bung Karno di sebuah tempat yang masih dirahasiakan.

"Bukan main senangnya kami mendengar kabar itu. Tentu saja aku senang berkumpul kembali,"kata dia.

Mobil Jeep yang mereka tumpangi akhirnya tiba di sebuah rumah di kompleks Lanud Halim Perdanakusuma. Di sana lah, sang ayah dan beberapa ajudannya tinggal untuk sementara. Pertemuan dengan Soekarno membuat Rachma dan dua adiknya senang.

"Wajah bapak terlihat letih. namun melihat kedatangan kami dia langsung memeluk dan menciumi kami," kata Rachma.

Namun kegembiraan tiga anak Soekarno itu tak berlangsung lama. Mereka pun diminta untuk segera pergi dari rumah persembunyian itu, menuju ke Bandung, kediaman sang istri Fatmawati

"Putri (Rachma) Tituk (Sukma), Guruh, sekarang berangkat ke Bandung ya, ketempat ibu, ya? Nanti diantar Pak Prihatin, naik helikopter bapak," ucap Soekarno kala itu.

Perintah itu membuat Rachma tertegun dan kembali kecewa. kebersamaannya dengan sang ayah harus kembali tersita. Kendati ingin tetap bersama Soekarno, namun Rachma tak bisa membantah perintah ayahnya itu.

"Kami tak ingin berpisah tapi wibawa dan kharisma bapak membuat kami tak bisa menolak perintahnya," kata dia.

Setelah beres menyiapkan perlengkapan, mereka pun kemudian segera diberangkatkan ke Bandung. Setelah menempuh perjalanan udara, ketiganya tiba di kediaman Fatmawati. Di sana, Rachma, Sukma dan Guruh disambut oleh kakak perempuan tertua mereka Megawati.

Fatmawati, yang saat itu sedang sakit tampak terhibur melihat kedatangan tiga anaknya itu. Suasana rindu pun pecah antara ibu dan tiga anak yang sudah lama tak bertemu.  "Kami di Bandung menumpahkan kerinduan bersama ibu dan Mbak Mega," Rachma menandaskan.