Sukses

Selama Gubernur Sultra Praperadilan, KPK Diimbau Stop Pemeriksaan

KPK diimbau sementara tidak memeriksa Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam, selama praperadilannya berjalan.

Liputan6.com, Jakarta Gubernur Sultra Nur Alam mengajukan praperadilan karena status tersangkanya, dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan.

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disarankan untuk sementara tidak memeriksa Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam, selama praperadilannya berjalan pada pekan depan.

Nur Alam mengajukan praperadilan karena status tersangkanya, dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam persetujuan dan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) pada 2008-2014.‎

Ahli hukum pidana Muzakir menilai, penghentian proses penyidikan kasus Nur Alam selama sidang praperadilan berlangsung sesuai KUHAP.

"Etikanya yang sudah diatur dalam KUHAP, pada saat digugat praperadilan, berhentilah semua kegiatan hukum kasusnya sampai pada praperadilan itu selesai," ujar Muzakir di Jakarta, Sabtu (1/10/2016).‎

Muzakir mengatakan, bukan berarti KPK menjadi lemah dengan menghentikan sementara proses penyidikannya selama praperadilan berlangsung. Justru dengan begitu menjadi penghargaan atas aturan hukum yang berlaku.

"Jadi tidak boleh kemudian, praperadilan sedang berlangsung, tersangkanya diperiksa. Karena praperadilan itu menguji wewenang sampai pada saat praperadilan itu diajukan," jelas dia.

Adapun sidang perdana praperadilan Nur Alam akan digelar pada Selasa 4 Oktober 2016. Di antara materi gugatannya, berkenaan dengan penetapan status tersangka kepada Nur Alam.

KPK menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang persetujuan dan penerbitan SK IUP di wilayah Provinsi Sultra.

Diduga, Gubernur Sultra 2008-2013 dan 2013-2018 itu menyalahgunakan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku.

Selaku Gubernur Sultra, Nur Alam mengeluarkan tiga SK kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) dari tahun 2008-2014. Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi.

Diduga ada kickback atau imbal jasa yang diterima Nur Alam dalam memberikan tiga SK tersebut. Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

PT AHB merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.‎‎ Perusahaan tersebut menambang di bekas lahan konsensi PT Inco.

PT AHB juga diketahui berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Indonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hong Kong. Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang tersebut kemudian diduga mengirim uang sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hong Kong.