Liputan6.com, Jakarta Kalangan antitembakau amat gencar mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Namun, tahukah Anda, begitu kita meratifikasi beleid internasional industri rokok kretek bakal punah.
Pada awal Juni lalu, ada kabar gembira dari Istana Kepresidenan. Saat itu Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menegaskan sikap Pemerintah soal FCTC.
Ketika itu, Presiden menegaskan, tanpa mengesampingkan isu kesehatan, Pemerintah belum akan meratifikasi FCTC. Pertimbangannya, ada banyak hal. Mulai dari masalah tenaga kerja yang ditampung di Industri Hasil Tembakau (IHT), perlindungan petani, dan soal perpajakan yang dipungut pemerintah dari IHT.
Advertisement
Memang, isu Konvensi Pengendalian Tembakau atau FCTC ini seolah-olah merupakan kartu truf kelompok antitembakau. Di mata mereka, begitu Pemerintah Indonesia meratifikasi, selesailah “tugas mulia” mereka untuk menghilangkan pengaruh rokok dari Bumi Indonesia.
Memang, tak ada yang salah dari FCTC kalau niatannya adalah untuk menyehatkan dan menghindarkan bangsa ini dari asap rokok yang konon mematikan itu.
Tapi, apa benar FCTC semulia itu?
Ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan, secara subtansi tidak ada yang salah dengan FCTC. Apalagi kalau FCTC itu bertujuan untuk menyehatkan rakyat Indonesia dari pengaruh buruk asap rokok rokok.
Namun, dia mengingatkan, Pemerintah harus hati-hati bila ingin meratifikasi beleid internasional.
“Pengambil kebijakan di Republik ini patut memahami bahwa perjanjian internasional oleh negara-negara tertentu kerap dijadikan instrumen yang menggantikan kolonialisme,” tulis Hikmahanto dalam makalah yang disampaikan dalam diskusi “Mengupas Dampak Buruk FCTC Bagi Indonesia” di Hotel Braja Mustika, Bogor, pada 4 dan 5 April 2014 silam.
Melalui perjanjian internasional maka suatu negara dapat mengendalikan negara lain, bahkan dapat melakukan intervensi kedaulatan hukum. Karena itu, begitu Indonesia meratifikasi FCTC, maka Indonesia wajib menerjemahkan norma yang ada dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. Apalagi bila hukum tersebut dirancang oleh negara-negara tertentu dengan muatan kepentingan mereka.
Hikmahanto mengingatkan, Indonesia memiliki banyak pengalaman terkait hal ini. Dia mencontohkan Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual. Beleid tersebut diamandemen bukan karena kesadaran masyarakat Indonesia meningkat sangat tajam namun karena ada kewajiban dalam Perjanjian Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization) untuk menyesuaikan. Padahal ketentuan HKI yang terdapat dalam WTO dibuat berdasarkan sistem hukum dan praktek dari negara-negara maju.
Dari situ sebenarnya kepentingan negara maju sangat jelas. Karena WTO Agreement memiliki kepentingan agar kekayaan intelektual para pelaku usaha di negara-negara maju dilindungi dan tidak mudah dibajak oleh berbagai pihak di negara berkembang.
Pengalaman di bidang HKI dan juga beleid antikorupsi ini bukannya tidak mungkin berlaku juga di FCTC.
Oleh sebab itu, Pemerintah penting untuk meneliti negara mana saja yang sebanarnya menjadi sponsor FCTC. Perlu ditelisik lebih dalam kepentingan apa dari negara-negara maju tersebut untuk mendorong FCTC melalui Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organisation (WHO) agar diratifikasi masyarakat internasional.
Soal dorongan ini sebenarnya sudah jelas. Banyak berita yang menyebutkan WHO sedang kesulitan keuangan yang serius. Demi keberlangsungan jalannya organisasi mereka pun terpaksa terima pesan sponsor. Nah, dalam konteks FCTC ini, kepentingan sponsor, yang diduga kuat adalah perusahaan-perusahaan farmasi global.
Kepentingan mereka jelas. Mereka faham betul industri rokok bernilai multi miliar dolar. Kalau mereka berhasil menggantikan industri ini, misalnya dengan membuat “rokok palsu” dengan nikotin sintetis di dalamnya, bisa dibayangkan berapa besar keuntungannya.
Apalagi, ini yang perlu diwaspadai, melalui FCTC, perusahaan-perusahaan farmasi tersebut bisa menjual barang tanpa harus beriklan dengan biaya yang sangat besar. Logikanya begini, karena rokok asli sudah dilarang maka mereka dengan mudah menjual rokok palsu. Mereka sadar, merokok adalah kebiasaan yang susah dihilangkan. Karena itu, jika tidak ada rokok asli, rokok palsu pun bakal dibeli.
Banyak pihak yang mengatakan, FCTC tidak semulia yang dianggap. Karena pada dasarnya kalau diteliti secara cermat, FCTC adalah pengaturan dagang rokok berdasarkan standarisasi yang dikembangkan negara-negara maju.
Lihat saja bagaimana FCTC melarang rokok beraroma. Sekadar tahu, rokok beraroma adalah rokok yang beraroma tertentu, seperti aroma mentol, cengkih, dan sebagainya. Nah, dengan melarang rokok beraroma, tentu saja akan menggilas habis industri rokok nasional yang didominasi oleh penjualan rokok kretek.
Selain itu, FCTC juga mengatur kadar TAR dan nikotin rendah. Kadar TAR dan nikotin rendah ini hanya dihasilkan tembakau Virginia yang banyak ditanam di Amerika Serikat dan China.
Standar ini dampaknya jelas pada petani tembakau kita. Petani-petani yang menanam tembakau dengan TAR dan nikotin tinggi, seperti tembakau Srinthil, bakal tutup kebun dan mereka harus beradaptasi dengan tanaman baru non tembakau yang juga didalilkan dalam FCTC.
Nah, lantas perlukan FCTC diratifikasi?
(Adv)