Liputan6.com, Jakarta - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurrachman membantah permintaan Rp 3 miliar kepada Lippo Group untuk turnamen tenis se-Indonesia.
Hal itu dikatakan Nurhadi usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia mengatakan, dana itu akan dijelaskan di persidangan ketika nanti menjadi saksi.
"Tidak ada. Tidak ada. Nanti saya jelaskan di pengadilan itu," ucap Nurhadi sebelum masuk ke dalam mobilnya di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Advertisement
Sedangkan terkait pemeriksaan hari ini, Nurhadi enggan bicara detail. Dia mengaku hanya diklarifikasi mengenai operasi tangkap tangan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dan pengusaha Doddy Aryanto Supeno.
"Klarifikasi saja kaitan dengan OTT saja," kata Nurhadi.
Di tempat terpisah, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, bila seseorang dipanggil, kemungkinannya kalau bukan sebagai saksi atau untuk pengembangan yang berhubungan kasus orang lain, maka untuk kasus diri sendiri.
Rp 3 M untuk Turnamen Tenis
Dalam dakwaan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, Nurhadi Abdurrachman disebut pernah meminta Rp 3 miliar kepada eks Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro. Uang sebanyak itu diminta Nurhadi untuk keperluan turnamen tenis seluruh Indonesia yang digelar di Bali.
Permintaan duit itu bermula ketika PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) yang merupakan perusahaan di bawah naungan Lippo Group menghadapi perkara terkait kepemilikan tanah punya ahli waris Tan Hok Tjie di Gading Serpong, Tangerang.
JBC mengetahui adanya permohonan eksekusi lanjutan di PN Tangerang dari pihak Tan Hok Tjie terhadap tanah yang sudah dikuasai JBC tersebut.
"Permohonan eksekusi itu diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," ujar Jaksa Tito Jaelani saat pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu 7 September 2016.
Eddy Sindoro lantas mengutus pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti Susetyowati untuk menemui Edy Nasution guna menolak permohonan eksekusi lanjutan tersebut. Akan tetapi, karena tidak juga ditindaklanjuti Edy Nasution, Hesti melapor ke Eddy Sindoro.
Hesti lantas meminta Eddy Sindoro membuatkan memo kepada seseorang yang diistilahkan dengan 'promotor'. Promotor itu adalah Nurhadi dengan tujuan agar dibantu pengurusan penolakan permohonan eksekusi lanjutan.
Kemudian, Edy Nasution mengontak Hesti. Dia menyampaikan permintaan Nurhadi agar disiapkan duit Rp 3 miliar jika ingin pengurusan penolakan eksekusi lanjutannya 'lancar'.
"Terdakwa menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan penolakan atas permohonan eksekusi lanjutan, atas arahan Nurhadi, agar disediakan uang sebesar Rp 3 miliar," kata jaksa.
Mengetahui ada arahan dari sang 'promotor' soal permintaan duit Rp 3 miliar, Eddy Sindoro merespons. Namun, Eddy Sindoro hanya menyanggupi Rp 1 miliar. Hesti selanjutnya menyampaikan ke Edy Nasution lewat telepon.
Pada percakapan nirkabel itu, Edy Nasution mengatakan uang Rp 3 miliar yang diminta Nurhadi tersebut untuk keperluan menggelar turnamen tenis se-Indonesia di Bali. Masih dalam percakapan telepon itu, Edy Nasution pun menego Hesty dan menurunkan 'harga' menjadi Rp 2 miliar.
"Akhirnya, Eddy Sindoro hanya menyanggupinya dan memberikan uang sebesar Rp 1,5 miliar," ucap jaksa.
Pada dakwaan ini juga terungkap, Nurhadi tak mau uang diberikan dalam bentuk pecahan rupiah. Dia menginginkan uang sebanyak itu dikirim dalam bentuk dolar Singapura.